Jumat, 07 Maret 2008

Kewenangan KPK vs Putusan MK

Kewenangan KPK Terhadap Perkara Korupsi
Yang Terjadi Sebelum Tahun 2003
Arsil

Dorongan bagi KPK saat ini semakin keras untuk mengambil alih kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan BLBI, khususnya sejak Kejaksaan menghentikan penyelidikan (kasus?) pada tanggal 29 Februari 2008 yang lalu serta tertangkap tangannya Ketua Tim 35 Kejaksaan UTG.

Saat ini memang masih terdengar kabar-kabar yang berpendapat bahwa KPK tidak dapat menangani kasus BLBI, khususnya yang terjadi sebelum 2002, maupun kasus-kasus korupsi besar lainnya yang terjadi sebelum tahun 1999, hal ini terkait dengan dua hal, pertama Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Hak Uji Materil-nya No. 069/PUU-II/2004 dan kedua ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 30/2002 tentang KPTPK. Terlepas dari apakah KPK sependapat dengan hal tersebut atau tidak, namun sejak diputusnya permohonan Hak Uji materil yang diajukan oleh Bram Manopo tersebut memang tidak pernah lagi terlihat kiprah KPK dalam menangani kasus korupsi yang terjadi (tempus delicti) sebelum berlakunya UU KPK (2002) atau bahkan sebelum terbentuknya KPK (2003).

Atas pendapat-pendapat tersebut kami perlu merasa perlu untuk memberikan pendapat hukum kami mengenai masalah tersebut.

1. Kewenangan KPK terkait Putusan MK No. 069/PUU-II/2004
Pertimbangan hukum MK yang kontroversial tersebut berbunyi:

Pasal 72 Undang-undang KPK, yang berada di bawah judul bab KETENTUAN PENUTUP, selengkapnya berbunyi, “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Tanggal pengundangan undang-undang dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72 tersebut adalah jelas bahwa Undang-undang KPK berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan;
(hal. 70)

Dengan demikian, terlepas dari perbedaan pendapat antara Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Para Ahli tentang asas retroaktif apakah meliputi hukum materiil maupun formil, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK (hanya –pen) dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannnya Undang-undang KPK (vide Pasal 72) sampai dengan terbentuknya KPK (vide Pasal 70), sebagaimana telah diuraikan di atas;
[1]
(hal. 73)
(cetak tebal dari penulis)

Permohonan Hak Uji Materil ini diajukan oleh Bram Manopo yang (pada saat itu) merupakan terdakwa Korupsi bersama-sama dengan Mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh (dalam dakwaan terpisah). Putusan MK tersebut diputus oleh MK sebelum Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan putusannya baik terhadap Bram Manopo sendiri maupun Abdullah Puteh. Tak lama setelah Putusan MK tersebut dijatuhkan Pengadilan Tipikor menjatuhkan putusannya, yang pada intinya menghukum keduanya. Dari putusan yang menghukum tersebut terlihat bahwa Pengadilan Tipikor tetap menganggap bahwa KPK tetap berwenang untuk menangangi perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum berdirinya KPK, atau dengan kata lain Pengadilan Tipikor tidak sependapat dengan pendapat hukum MK sebagaimana dikutip diatas. Dalam tingkat banding terjadi hal yang sama, Pengadilan Tinggi tetap menghukum terdakwa walapun terdakwa telah membawa putusan MK tersebut sebagai bagian dari memori bandingnya.

Selanjutnya dalam tingkat kasasi Abdullah Puteh kembali mengajukan pertimbangan hukum MK sebagai salah satu alasan dalam memori kasasinya. Namun atas alasan tersebut Mahkamah Agung melalui putusannya no. 1334 K/Pid/2005 berpendapat lain, dalam pertimbangan hukumnya di halaman 80-82 Mahkamah Agung berpendapat:

“ Menimbang bahwa dengan adanya pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi khususnya pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Undang-Undang aquo, pertimbangan mana menimbulkan pro dan kontra antara ahli hukum yang dapat berimplikasi negatif terhadap penerapan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung memandang perlu mempertimbangkan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang memberikan pertimbangan atas pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, mengingat pertimbangan tersebut, menimbulkan penafsiran sebagai pendapat Mahkamah Konstitusi…dst” (hal. 80)

“ Menimbang, bahwa dengan menunjuk pertimbangan Mahkamah Konstitusi khususnya pertimbangan mengenai Pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK berlaku kedepan (prospective) sekalipun diakui bahwa masalah penerapan Undang-Undang bukan wewenang Mahkamah Konstitusi dihubungkan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditetapkan dalam pasal 23 c ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 jo pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa pertimbangan tersebut diatas adalah berlebihan (overbodig), kontradiktif dan melampaui batas wewenangnya serta dapat menghambat upaya percepatan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum mengenai wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 24 C ayat (1) dan (2) Undang-Undang-Undang Dasr Negara RI 1945 jo pasal 10 ayat (1), (2), pasal 56 ayat (3) dan (5), pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 dihubungkan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor : 069/PUU/II/2004, Judex Factie telah dengan tepat dan benar mengadili perkara a quo menurut ketentuan Undang-Undang. Berdasarkan pertimbangan tersebut keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa huruf B butir 4 sampai dengan 16 tidak dapat dibernarkan, karena tidak beralasan menurut hukum;” (hal. 81-82)
(cetak tebal dari penulis)

Dari pertimbangan hukum Mahkamah Agung terlihat jelas bahwa Mahkamah Agung tidak sependapat dengan pendapat hukum Mahkamah Konstitusi mengenai tidak berwenangnya KPK dalam menangani perkara korupsi yang terjadi sebelum 2002. Dengan ditolaknya argumentasi Pemohon Kasasi yang mendalilkan bahwa Pengadilan Tinggi Tipikor salah menerapkan hukum dengan mendasarkan diri pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka hal ini berarti Pengadilan Tipikor berwenang mengadili perkara yang diajukan oleh KPK yang tempus delicti-nya terjadi sebelum berlakunya UU KPK, dan oleh karenanya hal tersebut berarti juga bahwa KPK dapat mengusut perkara korupsi yang demikian.


2. Kewenangan KPK untuk Memeriksa Korupsi yang Terjadi Sebelum Tahun 1999

Permasalahan hukum lain selain masalah diatas yang sering mengemuka adalah pertanyaan apakah KPK berwenang atau tidak mengusut tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tahun 1999. Atas masalah ini sebagian kalangan berpendapat (yang sayangnya pendapat ini cukup dominan) bahwa KPK tidak berwenang dikarenakan kewenangan KPK berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dibatasi hanya berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 yang artinya KPK tidak berwenang untuk mengusut Tipikor yang masih menggunakan UU No. 3 Tahun 1971.

Apakah pendapat ini tepat?

Jika dilihat lebih jauh, pendapat tersebut melandaskan diri pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 2002. Pasal tersebut berbunyi:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dari ketentuan tersebut sekilas memang terkesan bahwa KPK tidak berwenang untuk mengadili perkara yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 atau yang masih menggunakan UU No. 3 Tahun 1971, karena tidak ada satu pun ketentuan dalam UU KPK yang menyinggung-nyinggung mengenai UU No. 3 Tahun 1971 tersebut.

Namun apabila kita telusuri lebih jauh UU Tipikor khususnya UU No. 20 Tahun 2001, khususnya dalam pasal 43A terlihat bahwa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya yang perbuatan-perbuatan pidana yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 namun juga perbuatan-perbuatan yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1971 apabila perbuatan tersebut terjadi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999.

Selengkapnya Pasal 43A tersebut berbunyi:
Pasal 43A
Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jadi dengan mendasarkan diri pada “pintu” yang “dibuka” oleh pasal 43A UU No. 20 Tahun 2001 tersebut maka secara hukum KPK berwenang juga untuk mengadili perkara Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999.


3. Beberapa Catatan Lain Terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (Unsur Melawan Hukum)

UU Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK merupakan UU yang cukup sering di uji di Mahkamah Konstitusi. Selain pada Putusan MK No. 069/PUU-II/2004, putusan Mahkamah Konstitusi lainnya yang juga cukup kontroversial dan menarik perhatian publik adalah putusan No. 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan penjelasan pasal 2 khususnya penjelasan mengenai unsur ‘secara melawan hukum’ tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Putusan tersebut dinilai oleh banyak kalangan dapat menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi, karena hal ini berarti untuk dapat dianggap melawan hukum maka harus dibukitkan adanya pelanggaran hukum tertulis. Namun, mengenai hal ini menarik jika melihat bagaimana Mahkamah Agung berpendapat mengenai apakah unsur “hukum” harus diartikan sebagai hukum tertulis paska diputusnya Putusan MK tersebut.

Setidaknya, setelah putusan MK tersebut Mahkamah Agung telah mengeluarkan 2 Putusannya dimana didalamnya terdapat masalah pengertian unsur melawan hukum dalam pasal 2 UU Tipikor, yaitu pada putusan MA No. 2214 K/PID/2006 dengan terdakwa H. Hamid Djiman di halaman 85-87 menyatakan sebagai berikut :

Menimbang, bahwa mengenai pengertian “ melawan hukum “ dalam tindak pidana korupsi Mahkamah Agung adalah berpendapat sebagai berikut :
1. bahwa Mahkamah Agung tetap memberi makna “perbuatan melawan hukum” yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.31 tahun 1999, baik dalam arti formil maupun dalam arti materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006, No.003 / PUU-IV / 2006 penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

2. bahwa memperhatikan butir 1 tersebut, maka Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 Tahun 1999 akan memperhatikan doktrin dan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa unsur “secara melawan hukum” dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yang meliputi fungsi positif dan negatifnya

3. bahwa Yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain Undang-Undang dan kebiasaan serta traktat yang dapat digunakan oleh Mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang dihadapinya, Yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat


Dalam perkara lainnya, Mahkamah Agung kembali memberikan pertimbangan hukum atas unsur melawan hukum yang serupa dengan pertimbangan di atas, yaitu dalam perkara No. 2608-K-Pid/2006 dengan terdakwa Achmad Rojadi (Kasus KPU). Dalam halaman 94-96 putusan tersebut Mahkamah Agung menyatakan:



“Selain itu sehubungan dengan keberatan tersebut tidak berkelebihan apabila dikemukakan pendirian Mahkamah Agung yang tetap memberi makna ”perbuatan melawan hukum” yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang N0.31 tahun 1999, baik dalam arti formil maupun dalam arti materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006,
No.003/PUU-IV/2006 Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, mengingat alasanalasan sebagai berikut :
bahwa dengan dinyatakannya penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 sebagai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,maka yang dimaksud dengan unsur ”melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang tersebut menjadi tidak jelas rumusannya, oleh karena itu berdasarkan doctrine ”Sens-Clair (la doctrine du senclair) hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan :
a. bahwa Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menentukan ”Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, karena menurut pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 tahun 2004, ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”;
b. bahwa Hakim dalam mencari makna ”melawan hukum” seharusnya mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit (bandingkan M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, halaman 120);
c. bahwa Hamaker dalam keterangannya Het recht en de maatschappij dan juga Recht, Wet en Rechter antara lain berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup didalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi I.H. Hymans (dalam keterangannya : Het recht der werkelijkheid), hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan ”hukum dan makna sebenarnya” (Het recht der werkelijkheid
d. (lihat Prof. Dr. Achmad Ali. SH. MH. Menguak tibir hukum (suatu kajian Filosofis dan Sosiologis). Cetakan ke.II (kedua), 2002, hal.140);
e. bahwa ”apabila kita memperhatikan Undang-Undang, ternyata bagi kita, bahwa Undang-Undang tidak saja menunjukan banyak kekurangankakurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian Undang-Undang memberi kuasa kapada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan Undang-Undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan Undang-Undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan Undang-Undang secara gramatikal atau histories baik ”recht maupun wetshistoris” (Lie Oen Hok, Jusprudensi sebagai Sumber Hukum, Pidato diucapkan pada waktu peresmian Pemangkuan Jabatan Guru Basar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia di Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11.)


Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
KPK secara hukum dapat melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan atas perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum berlakuknya UU KPK bahkan sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Untuk membuktikan unsur melawan hukum KPK tetap dapat menggunakan doktrin Ajaran Melawan Hukum Materil dalam Fungsi Positif maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung.


Sekian, semoga bermanfaat.

[1] Paragraf ini jika dibaca secara seksama akan terasa janggal jika setelah kata ‘KPK’ tidak disisipi kata ‘hanya’. Penulis menduga hal ini terjadi karena adanya kekhilafan dalam pengetikan.

1 komentar:

lppi lppi mengatakan...

Yth. Koalisi Pemantau Peradilan

Lembaga Pemantau Peradilan Indonesia (LPPI) Surabaya, mau gabung di milist KPP. Kalau boleh tahu dimana alamatnya? Tujuan gabung milist biar keep in touch dengan kawan-kawan KPP di Jakarta

Hormat saya,
Adi Hidayat, S.H.
Ketua LPPI
GSM 08179399369