Kamis, 31 Januari 2008

Empat Alasan Menolak Unsur Jaksa dan Polisi

Empat Alasan Menolak Unsur Jaksa dan Polisi
Sebagai Calon Pimpinan KPK


Jakarta) Sepuluh nama calon pimpinan KPK telah diserahkan Pansel KPK kepada Presiden SBY. Dari Presiden, nama-nama tersebut akan disampaikan kepada Komisi III DPR untuk diseleksi melalui fit and proper test.

Untuk mengantisipasi keputusan paling buruk yang diambil Komisi III DPR RI, KPP pada hari Selasa, (2/20/07) telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden supaya ada penyaringan ulang oleh Presiden, khususnya untuk nama-nama kandidat yang berlatar belakang jaksa dan polisi.

Melalui penyaringan ulang, Presiden dapat meminta Pansel KPK untuk mencari kandidat pimpinan KPK yang lebih berkualitas sehingga tidak membuka ruang bagi Komisi III DPR RI untuk bermanuver.

Dasar penolakan KPP terhadap jaksa dan polisi dalam kepemimpinan KPK dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, terdapat cacat proses seleksi yang dilakukan Pansel KPK karena mendasarkan penilaian pada kuota. Kuota yang dimaksud adalah keharusan untuk menempatkan perwakilan jaksa dan polisi sebagai bagian tak terpisahkan dari komposisi calon pimpinan KPK. Dengan adanya kuota, penilaian Pansel KPK atas kandidat menjadi sangat subjektif dan sulit untuk dipertanggungjawabkan kualitasnya.

Kedua, dari hasil penelusuran atas rekam jejak kandidat pimpinan KPK yang dilakukan oleh KPP, kandidat dari jaksa dan polisi paling banyak disoroti oleh masyarakat, baik terkait dengan dugaan pemerasan, dugaan menerima suap, upaya melakukan penyuapan kepada jurnalis, plagiatisme, hingga menerima sesuatu dari para pihak yang berkaitan dengan jabatan.

Ketiga, tidak ada dalam klausul UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang mengharuskan pimpinan KPK berasal dari jaksa dan polisi. Dengan demikian, kuota yang menjadi pedoman Pansel KPK dalam menyeleksi kandidat telah melampaui apa yang diamanatkan oleh UU.

Keempat, belajar dari kasus Irawady Joenoes, anggota Komisi Yudisial yang ditangkap KPK karena isu suap, calon pimpinan KPK haruslah memiliki integritas tinggi. Bukan sesuatu yang kebetulan karena Irawady adalah mantan jaksa, dimana lingkungan dan sistemnya telah membiasakan seseorang terlibat langsung dalam perbuatan KKN atau membiarkan hal itu terjadi.


Dengan argumentasi diatas, KPP mendesak Presiden SBY segera mengambil langkah proaktif dengan melakukan seleksi ulang atas nama-nama (jaksa dan polisi) yang bermasalah. Langkah tersebut penting ditempuh guna menyelamatkan program pemberantasan korupsi KPK dari usaha-usaha pembusukan.

Jakarta, 2 Oktober 2007
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP)

Skenario Pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):

Skenario Pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):
Catatan KPP terhadap Fit and Propert Test Komisi III DPR


Terpilihnya Antasari Azhar sebagai Ketua KPK untuk periode 2007-2011 dalam fit and proper test oleh Komisi III DPR RI menimbulkan gelombang penolakan yang kuat dari masyarakat luas. Hal ini tidak lepas dari persoalan bahwa sosok Ketua KPK terpilih dipandang memiliki integritas yang sangat dipertanyakan. Demikian halnya beberapa pimpinan KPK terpilih juga tidak memiliki karakter kuat sebagai sosok Pimpinan KPK yang diharapkan. Dikhawatirkan, masa depan KPK untuk 4 tahun kedepan akan menjadi lebih buram.

Lebih jauh dari sekedar itu, Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menilai bahwa fit and proper test calon Pimpinan KPK oleh Komisi III DPR RI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari skenario besar untuk membubarkan KPK. Beberapa indikasi yang memperkuat kesimpulan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, Komisi III DPR RI tidak memilih calon pimpinan KPK yang memiliki kemampuan dan keberanian luar biasa dalam memberantas korupsi. Padahal ketika korupsi telah menjadi persoalan besar di negeri ini, seharusnya dijawab dengan keseriusan Komisi III dengan menempatkan orang-orang yang mampu menahkodai KPK sebagai lembaga penegakan hukum yang mumpuni dan efektif.

Dengan terpilihnya beberapa Pimpinan KPK Jilid II, yang merupakan kombinasi dari integritas yang dipertanyakan dengan keberanian yang kurang, masa depan KPK secara perlahan mengarah pada kehancuran. Ditakutkan, buruknya kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK jilid II menjadi legitimasi yang kuat bagi DPR untuk membubarkan KPK.

Sinyal kuat bahwa KPK akan dibubarkan juga dapat dikaitkan dengan suara mayoritas di Komisi III DPR bahwa KPK adalah lembaga ad hoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan. Pembubaran itu akan semakin mendapatkan momentumnya pada saat kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK tidak sesuai dengan harapan masyarakat luas.

Kedua, fit and proper test calon Pimpinan KPK oleh Komisi III DPR terjebak pada politisasi mengingat calon-calon yang terpilih sudah ditentukan sebelumnya. Artinya, preferensi politik Komisi III terhadap calon sudah ditentukan sebelum fit and proper test dilakukan. Demikian halnya pada saat fit and proper test, muncul favoritisme, perbedaan perlakuan, dukungan secara langsung terhadap calon, tekanan terhadap satu calon tapi tidak terhadap calon yang lain, beberapa isu pokok terkait dengan calon yang bersumber dari laporan masyarakat tidak muncul sebagai bahan pertanyaan bagi Komisi III DPR.

Lebih jauh dari itu, mekanisme pemilihan Ketua KPK melalui dua putaran dengan hanya melibatkan dua kandidat merupakan setting untuk menempatkan Antasari Azhar sebagai pemenang. Hal ini tampak dari migrasi suara yang cukup signifikan, ketika putaran kedua dilakukan. Selain itu, setting dua kandidat ini juga dilakukan untuk mengkonsentrasikan suara para anggota komisi III, sehingga "kecelakaan" pada putaran pertama tidak terjadi.

Oleh karena itu, investigasi, penelurusan rekam jejak oleh Komisi III yang digembar-gemborkan serta masukan dari masyarakat mengenai integritas calon tidak diperhitungkan sama sekali. Dengan kata lain, fit and proper test menjadi sekedar alat untuk meligitmasi preferensi politik yang sudah ditentukan sebelumnya.

Ketiga, pilihan Komisi III DPR atas Pimpinan KPK Jilid II merupakan dari kepentingan DPR untuk mengamankan agenda politik 2009 sekaligus bagian dari penyelamatan kader-kader partai dari jerat hukum oleh KPK. Data terhadap penindakan oleh KPK terhadap para aktor menunjukan bahwa sebagian besarnya berasal dari partai besar, yakni Golkar dan PDI P (lihat tabel). Tidak heran jika dukungan Golkar dan PDI P terhadap Antasari Azhar demikian jelas terlihat.

Untuk menyelamatkan KPK dari usaha pembubaran, KPP menilai program pemberantasan korupsi oleh KPK Jilid II harus diletakan pada beberapa indikator yang relevan dan strategis, yakni:

Pertama, pemulihan penegakan hukum. Selama ini masalah besar dalam pemberantasan korupsi adalah tidak efektifnya institusi Kejaksaan dan Kepolisian dalam menangani kasus korupsi karena praktek korupsi itu sendiri. KPK dibentuk salah satunya untuk mengembalikan efektivitas fungsi penegakan hukum Kejaksaan dan Kepolisian. Oleh karena itu, KPK 2007-2011 harus memfokuskan agendanya pada mekanisme supervisi atas kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus – kasus korupsi. Selain itu upaya pemulihan penegakan hokum, juga harus dilakukan dengan membersihkan institusi Kejaksaan dan Kepolisian dari praktek korupsi yang sudah menggurita.

Dari gambaran di atas, maka salah satu tolak ukur keberhasilan dari KPK Jilid II, di bawah pimpinan Anthasari Azhar dapat dilihat dari penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian, termasuk bila kasus itu menyangkut institusi mereka (kepolisian dan Kejaksaan).

Kedua, pemulihan sektor ekonomi. Program pemberantasan korupsi KPK tidak boleh bertentangan, akan tetapi harus mendukung agenda pemulihan sektor ekonomi. Kami menilai bahwa berbagai kasus korupsi yang menyebabkan hancurnya pondasi ekonomi, sekaligus menyebabkan hilangnya potensi pertumbuhan seperti kasus BLBI sebagai kasus di sektor perbankan, sektor perpajakan dan sektor BUMN. Oleh karena itu, sektor-sektor tersebut harus menjadi prioritas KPK kedepan.

Ketiga, pembersihan lembaga politik. Produk kebijakan yang korup telah membuat kualitas dan tujuan penyusunan kebijakan menjadi sangat melenceng dari tujuan dasarnya untuk mensejahterakan masyarakat. Kasus suap BI kepada DPR yang saat ini ditangani oleh KPK memberikan gambaran kuat bahwa dalam proses legislasi, peranan uang sangatlah kuat. Oleh karena itu, untuk menghindari penyusunan kebijakan jatuh pada arena jual beli kepentingan politik-bisnis, maka KPK harus memfokuskan diri pada penanganan kasus korupsi di lembaga politik semisal DPR.

Ketiga indikator diatas menjadi alat ukur penilaian yang relevan bagi kinerja pemberantasan korupsi KPK kedepan.

Jakarta, 11 Desember 2007

Koalisi Pemantau Peradilan
(■ ICW ■ KRHN ■ PSHK ■ LeIP ■ MaPPI ■ TII ■ LBH Jakarta ■ TRAFIC ■ ILRC ■)