Minggu, 11 Mei 2008

RPP Kompensasi dan Restitusi

Pernyataan Pers Bersama Koalisi
PEMERINTAH BELUM BERPIHAK KEPADA KORBAN

Pemerintah saat ini telah merampungkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. RPP ini merupakan mandat dari UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU No. 13/2006 sebetulnya memandatkan untuk dibuat 2 (dua) buah PP yaitu PP tentang Pemberian Kompensasi dan Restitusi dan PP tentang kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya bantuan kepada korban dan saksi (Lihat pasal 7 ayat (3) dan pasal 34 ayat (3) UU No. 13/2006). Namun, pemerintah nampaknya menetapkan dua mandat pembentukan PP tersebut menjadi satu PP.

Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari proses penyusunan dan subtansi RPP yang telah diselesaikan oleh Tim Pemerintah :
1. Proses Penyusunan
· Proses pembahasan penyusunan RPP dilakukan secara tertutup, dan tidak melibatkan unsur masyarakat sebagai anggota Tim Perumus.
· Pada sisi lain pemerintah juga tidak melakukan sosialisasi kepada pubik dan upaya menjaring masukan publik khususnya LSM dan atau masyarakat korban.
2. Subtansi dalam RPP masih belum berpihak kepada korban.
· RPP yang telah disusun tidak disusun dengan perspektif korban sehingga memunculkan banyak ketentuan yang justru akan berpotensi menghambat pemenuhan hak atas pemulihan bagi korban.
· Beberapa ketentuan dalam RPP masih melanjutkan kesalahan konsep dari regulasi sebelumnya yang seharusnya dapat diluruskan dan disinkronkan. Dalam konteks ini adalah mengenai kompensasi kepada korban yang dilekatkan pada ada atau tidaknya kesalahan pelaku.
· Syarat-syarat permohonan kompensasi dan bantuan oleh korban akan berimplikasi pada gagalnya korban memperoleh hak-haknya. Perlu adanya penghapusan beberapa syarat yang harus dipenuhi dan dilampirkan korban dalam permohonannya.

Berdasarkan hal tersebut maka kami meminta Presiden:
Menunda proses pengesahan RPP tentang Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Memerintahkan Departemen Hukum dan HAM untuk memperbaiki naskah RPP tersebut dan melibatkan masyarakat dan anggota LPSK terpilih dalam proses penyusunan.

Jakarta, 6 Mei 2008
Koalisi Perlindungan Saksi



RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi versi Masyarakat ini disusun oleh Task Force RUU Pengadilan Tipikor yang dimotori oleh KRHN. Task Force ini terdiri dari akademisi, praktisi dan LSM.
Untuk melihat dokumennya klik link dibawah ini:
RUU : http://docs.google.com/Doc?id=dfs5ktg_1hnfvp3g4
Penjelasan : http://docs.google.com/Doc?id=dfs5ktg_2c669t2cz
Naskah Akademis: (menyusul).

Jumat, 07 Maret 2008

Kewenangan KPK vs Putusan MK

Kewenangan KPK Terhadap Perkara Korupsi
Yang Terjadi Sebelum Tahun 2003
Arsil

Dorongan bagi KPK saat ini semakin keras untuk mengambil alih kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan BLBI, khususnya sejak Kejaksaan menghentikan penyelidikan (kasus?) pada tanggal 29 Februari 2008 yang lalu serta tertangkap tangannya Ketua Tim 35 Kejaksaan UTG.

Saat ini memang masih terdengar kabar-kabar yang berpendapat bahwa KPK tidak dapat menangani kasus BLBI, khususnya yang terjadi sebelum 2002, maupun kasus-kasus korupsi besar lainnya yang terjadi sebelum tahun 1999, hal ini terkait dengan dua hal, pertama Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Hak Uji Materil-nya No. 069/PUU-II/2004 dan kedua ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 30/2002 tentang KPTPK. Terlepas dari apakah KPK sependapat dengan hal tersebut atau tidak, namun sejak diputusnya permohonan Hak Uji materil yang diajukan oleh Bram Manopo tersebut memang tidak pernah lagi terlihat kiprah KPK dalam menangani kasus korupsi yang terjadi (tempus delicti) sebelum berlakunya UU KPK (2002) atau bahkan sebelum terbentuknya KPK (2003).

Atas pendapat-pendapat tersebut kami perlu merasa perlu untuk memberikan pendapat hukum kami mengenai masalah tersebut.

1. Kewenangan KPK terkait Putusan MK No. 069/PUU-II/2004
Pertimbangan hukum MK yang kontroversial tersebut berbunyi:

Pasal 72 Undang-undang KPK, yang berada di bawah judul bab KETENTUAN PENUTUP, selengkapnya berbunyi, “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Tanggal pengundangan undang-undang dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72 tersebut adalah jelas bahwa Undang-undang KPK berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan;
(hal. 70)

Dengan demikian, terlepas dari perbedaan pendapat antara Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Para Ahli tentang asas retroaktif apakah meliputi hukum materiil maupun formil, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK (hanya –pen) dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannnya Undang-undang KPK (vide Pasal 72) sampai dengan terbentuknya KPK (vide Pasal 70), sebagaimana telah diuraikan di atas;
[1]
(hal. 73)
(cetak tebal dari penulis)

Permohonan Hak Uji Materil ini diajukan oleh Bram Manopo yang (pada saat itu) merupakan terdakwa Korupsi bersama-sama dengan Mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh (dalam dakwaan terpisah). Putusan MK tersebut diputus oleh MK sebelum Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan putusannya baik terhadap Bram Manopo sendiri maupun Abdullah Puteh. Tak lama setelah Putusan MK tersebut dijatuhkan Pengadilan Tipikor menjatuhkan putusannya, yang pada intinya menghukum keduanya. Dari putusan yang menghukum tersebut terlihat bahwa Pengadilan Tipikor tetap menganggap bahwa KPK tetap berwenang untuk menangangi perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum berdirinya KPK, atau dengan kata lain Pengadilan Tipikor tidak sependapat dengan pendapat hukum MK sebagaimana dikutip diatas. Dalam tingkat banding terjadi hal yang sama, Pengadilan Tinggi tetap menghukum terdakwa walapun terdakwa telah membawa putusan MK tersebut sebagai bagian dari memori bandingnya.

Selanjutnya dalam tingkat kasasi Abdullah Puteh kembali mengajukan pertimbangan hukum MK sebagai salah satu alasan dalam memori kasasinya. Namun atas alasan tersebut Mahkamah Agung melalui putusannya no. 1334 K/Pid/2005 berpendapat lain, dalam pertimbangan hukumnya di halaman 80-82 Mahkamah Agung berpendapat:

“ Menimbang bahwa dengan adanya pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi khususnya pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Undang-Undang aquo, pertimbangan mana menimbulkan pro dan kontra antara ahli hukum yang dapat berimplikasi negatif terhadap penerapan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung memandang perlu mempertimbangkan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang memberikan pertimbangan atas pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, mengingat pertimbangan tersebut, menimbulkan penafsiran sebagai pendapat Mahkamah Konstitusi…dst” (hal. 80)

“ Menimbang, bahwa dengan menunjuk pertimbangan Mahkamah Konstitusi khususnya pertimbangan mengenai Pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK berlaku kedepan (prospective) sekalipun diakui bahwa masalah penerapan Undang-Undang bukan wewenang Mahkamah Konstitusi dihubungkan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditetapkan dalam pasal 23 c ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 jo pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa pertimbangan tersebut diatas adalah berlebihan (overbodig), kontradiktif dan melampaui batas wewenangnya serta dapat menghambat upaya percepatan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum mengenai wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 24 C ayat (1) dan (2) Undang-Undang-Undang Dasr Negara RI 1945 jo pasal 10 ayat (1), (2), pasal 56 ayat (3) dan (5), pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 dihubungkan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor : 069/PUU/II/2004, Judex Factie telah dengan tepat dan benar mengadili perkara a quo menurut ketentuan Undang-Undang. Berdasarkan pertimbangan tersebut keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa huruf B butir 4 sampai dengan 16 tidak dapat dibernarkan, karena tidak beralasan menurut hukum;” (hal. 81-82)
(cetak tebal dari penulis)

Dari pertimbangan hukum Mahkamah Agung terlihat jelas bahwa Mahkamah Agung tidak sependapat dengan pendapat hukum Mahkamah Konstitusi mengenai tidak berwenangnya KPK dalam menangani perkara korupsi yang terjadi sebelum 2002. Dengan ditolaknya argumentasi Pemohon Kasasi yang mendalilkan bahwa Pengadilan Tinggi Tipikor salah menerapkan hukum dengan mendasarkan diri pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka hal ini berarti Pengadilan Tipikor berwenang mengadili perkara yang diajukan oleh KPK yang tempus delicti-nya terjadi sebelum berlakunya UU KPK, dan oleh karenanya hal tersebut berarti juga bahwa KPK dapat mengusut perkara korupsi yang demikian.


2. Kewenangan KPK untuk Memeriksa Korupsi yang Terjadi Sebelum Tahun 1999

Permasalahan hukum lain selain masalah diatas yang sering mengemuka adalah pertanyaan apakah KPK berwenang atau tidak mengusut tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tahun 1999. Atas masalah ini sebagian kalangan berpendapat (yang sayangnya pendapat ini cukup dominan) bahwa KPK tidak berwenang dikarenakan kewenangan KPK berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dibatasi hanya berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 yang artinya KPK tidak berwenang untuk mengusut Tipikor yang masih menggunakan UU No. 3 Tahun 1971.

Apakah pendapat ini tepat?

Jika dilihat lebih jauh, pendapat tersebut melandaskan diri pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 2002. Pasal tersebut berbunyi:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dari ketentuan tersebut sekilas memang terkesan bahwa KPK tidak berwenang untuk mengadili perkara yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 atau yang masih menggunakan UU No. 3 Tahun 1971, karena tidak ada satu pun ketentuan dalam UU KPK yang menyinggung-nyinggung mengenai UU No. 3 Tahun 1971 tersebut.

Namun apabila kita telusuri lebih jauh UU Tipikor khususnya UU No. 20 Tahun 2001, khususnya dalam pasal 43A terlihat bahwa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya yang perbuatan-perbuatan pidana yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 namun juga perbuatan-perbuatan yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1971 apabila perbuatan tersebut terjadi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999.

Selengkapnya Pasal 43A tersebut berbunyi:
Pasal 43A
Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jadi dengan mendasarkan diri pada “pintu” yang “dibuka” oleh pasal 43A UU No. 20 Tahun 2001 tersebut maka secara hukum KPK berwenang juga untuk mengadili perkara Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999.


3. Beberapa Catatan Lain Terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (Unsur Melawan Hukum)

UU Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK merupakan UU yang cukup sering di uji di Mahkamah Konstitusi. Selain pada Putusan MK No. 069/PUU-II/2004, putusan Mahkamah Konstitusi lainnya yang juga cukup kontroversial dan menarik perhatian publik adalah putusan No. 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan penjelasan pasal 2 khususnya penjelasan mengenai unsur ‘secara melawan hukum’ tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Putusan tersebut dinilai oleh banyak kalangan dapat menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi, karena hal ini berarti untuk dapat dianggap melawan hukum maka harus dibukitkan adanya pelanggaran hukum tertulis. Namun, mengenai hal ini menarik jika melihat bagaimana Mahkamah Agung berpendapat mengenai apakah unsur “hukum” harus diartikan sebagai hukum tertulis paska diputusnya Putusan MK tersebut.

Setidaknya, setelah putusan MK tersebut Mahkamah Agung telah mengeluarkan 2 Putusannya dimana didalamnya terdapat masalah pengertian unsur melawan hukum dalam pasal 2 UU Tipikor, yaitu pada putusan MA No. 2214 K/PID/2006 dengan terdakwa H. Hamid Djiman di halaman 85-87 menyatakan sebagai berikut :

Menimbang, bahwa mengenai pengertian “ melawan hukum “ dalam tindak pidana korupsi Mahkamah Agung adalah berpendapat sebagai berikut :
1. bahwa Mahkamah Agung tetap memberi makna “perbuatan melawan hukum” yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.31 tahun 1999, baik dalam arti formil maupun dalam arti materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006, No.003 / PUU-IV / 2006 penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

2. bahwa memperhatikan butir 1 tersebut, maka Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 Tahun 1999 akan memperhatikan doktrin dan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa unsur “secara melawan hukum” dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yang meliputi fungsi positif dan negatifnya

3. bahwa Yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain Undang-Undang dan kebiasaan serta traktat yang dapat digunakan oleh Mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang dihadapinya, Yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat


Dalam perkara lainnya, Mahkamah Agung kembali memberikan pertimbangan hukum atas unsur melawan hukum yang serupa dengan pertimbangan di atas, yaitu dalam perkara No. 2608-K-Pid/2006 dengan terdakwa Achmad Rojadi (Kasus KPU). Dalam halaman 94-96 putusan tersebut Mahkamah Agung menyatakan:



“Selain itu sehubungan dengan keberatan tersebut tidak berkelebihan apabila dikemukakan pendirian Mahkamah Agung yang tetap memberi makna ”perbuatan melawan hukum” yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang N0.31 tahun 1999, baik dalam arti formil maupun dalam arti materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006,
No.003/PUU-IV/2006 Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, mengingat alasanalasan sebagai berikut :
bahwa dengan dinyatakannya penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 sebagai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,maka yang dimaksud dengan unsur ”melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang tersebut menjadi tidak jelas rumusannya, oleh karena itu berdasarkan doctrine ”Sens-Clair (la doctrine du senclair) hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan :
a. bahwa Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menentukan ”Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, karena menurut pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 tahun 2004, ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”;
b. bahwa Hakim dalam mencari makna ”melawan hukum” seharusnya mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit (bandingkan M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, halaman 120);
c. bahwa Hamaker dalam keterangannya Het recht en de maatschappij dan juga Recht, Wet en Rechter antara lain berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup didalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi I.H. Hymans (dalam keterangannya : Het recht der werkelijkheid), hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan ”hukum dan makna sebenarnya” (Het recht der werkelijkheid
d. (lihat Prof. Dr. Achmad Ali. SH. MH. Menguak tibir hukum (suatu kajian Filosofis dan Sosiologis). Cetakan ke.II (kedua), 2002, hal.140);
e. bahwa ”apabila kita memperhatikan Undang-Undang, ternyata bagi kita, bahwa Undang-Undang tidak saja menunjukan banyak kekurangankakurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian Undang-Undang memberi kuasa kapada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan Undang-Undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan Undang-Undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan Undang-Undang secara gramatikal atau histories baik ”recht maupun wetshistoris” (Lie Oen Hok, Jusprudensi sebagai Sumber Hukum, Pidato diucapkan pada waktu peresmian Pemangkuan Jabatan Guru Basar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia di Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11.)


Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
KPK secara hukum dapat melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan atas perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum berlakuknya UU KPK bahkan sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Untuk membuktikan unsur melawan hukum KPK tetap dapat menggunakan doktrin Ajaran Melawan Hukum Materil dalam Fungsi Positif maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung.


Sekian, semoga bermanfaat.

[1] Paragraf ini jika dibaca secara seksama akan terasa janggal jika setelah kata ‘KPK’ tidak disisipi kata ‘hanya’. Penulis menduga hal ini terjadi karena adanya kekhilafan dalam pengetikan.

Seputar Masalah Asas Non-Retroaktif

Seputar Masalah Asas Non-Retroaktif[i]
Arsil[ii]

Pada tanggal 15 Februari 2005 yang lalu Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan atas Permohonan Judicial Review Pasal 68 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPTPK (Putusan No. 069/PUU-II/2004). Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Judicial Review yang diajukan oleh Pemohon dalam hal ini Bram Manopo yang juga merupakan salah satu tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pembelian helikopter Rusia oleh Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dengan alasan pihak Pemohon tidak mempunyai Legal Standing dalam permohonan tersebut.

Putusan Judicial Review ini dinilai mempunyai nilai yang sangat penting bagi pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya bagi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Korupsi karena dalam pertimbangannya MK berpendapat bahwa KPK tidak berwenang memeriksa tindak pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan. Selengkapnya kutipan pendapat tersebut:

Pasal 72 Undang-undang KPK, yang berada di bawah judul bab KETENTUAN PENUTUP, selengkapnya berbunyi, “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Tanggal pengundangan undang-undang dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72 tersebut adalah jelas bahwa Undang-undang KPK berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan;
(hal. 70)

Dengan demikian, terlepas dari perbedaan pendapat antara Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Para Ahli tentang asas retroaktif apakah meliputi hukum materiil maupun formil, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK (hanya –pen) dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannnya Undang-undang KPK (vide Pasal 72) sampai dengan terbentuknya KPK (vide Pasal 70), sebagaimana telah diuraikan di atas;
[iii]
(hal. 73)

Pendapat MK itu menimbulkan polemik yang cukup hebat di masyarakat. Pihak-pihak yang selama ini memperjuangkan pemberantasan tindak pidana korupsi menyayangkan pendapat MK. Di antara pihak-pihak yang menganggap bahwa untuk perkara korupsi seharusnya asas non-retroactive dapat disimpangi karena korupsi (seharusnya) merupakan extra ordinary crime, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa asas non-retroactive hanya mengikat untuk aturan materil/substansal akan tetapi tidak berlaku bagi hukum formil/ajektif. Di sisi lain ada juga kalangan yang setuju dengan pendapat MK di atas. Sementara terhadap Mahkamah Konstitusinya sendiri banyak pihak yang menuduh bahwa MK terlalu legalistik formal dalam melihat suatu permasalahan hukum.

Dari polemik tersebut perdebatan kemudian berkembang menjadi perdebatan apakah korupsi (seharusnya) merupakan extra-ordinary crime atau tidak, apakah asas non-retroaktive hanya berlaku pada hukum materil/substansial atau juga mengikat hukum formil/ajektif, hingga apakah pertimbangan hukum MK mengikat atau tidak. Terhadap obyek perdebatan yang terakhir ini tak urung Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Jimly Assidiqie ‘terpaksa’ turun tangan dengan menggelar konfrensi pers setelah membacakan putusannya dengan mengatakan bahwa yang mengikat hanya dictum putusannya saja, tidak untuk pertimbangan hukumnya.

Melihat dari perdebatan-perdebatan di atas penulis melihat bahwa walaupun putusan MK telah diputus dan final akan tetapi ternyata putusan tersebut masih menyisakan satu persoalan hukum berkaitan dengan masalah aturan apa saja yang terikat dengan asas non-retroactive serta bagaimana cara menguji suatu aturan maupun penerapan aturan sesuai dengan asas tersebut atau tidak.

Perdebatan-perdebatan di atas pada dasarnya terjadi oleh karena perkara semacam ini, yang mempertanyakan apakah suatu institusi yang baru dibentuk dapat menangani perkara yang terjadi sebelum institusi tersebut lahir atau tidak merupakan perkara yang pertama di Indonesia. Masalah ini kemudian dikaitkan dengan asas non-retroactive yang juga doktrin serta aturan yang ada khususnya di Indonesia masih sangat minim. Memang sudah pernah perkara yang ada yang berkaitan dengan hukum materil seperti pada perkara UU Terorisme dan UU No. 14/1985.

PENGERTIAN DAN PENGATURAN ASAS NON-RETROACTIVE

Sebelum melangkah lebih jauh perlu diperjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Asas non retroactive. Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan Retroactivie adalah extending in scope or effect to matters that have occured in the past. Di indonesia istilah yang dekat dan sering dipergunakan adalah ‘berlaku surut’. Asas non-retroaktif ini biasanya juga dikaitkan dengan asas yang ada dalam hukum pidana yang berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege poenali (Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan)

Di Indonesia 2 (dua) aturan yang berkaitan dengan asas non-retroactive atau larangan memberlakukan surut suatu peraturan perundangan, yaitu dalam Pasal 28 i UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Penerapan asas ini sebenarnya tidak mutlak, terdapat pengecualian-pengecualian, seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP dan tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crimes.
[iv]

Kedua aturan itu pada dasarnya merupakan penerapan dari asas yang ada dalam hukum pidana, oleh karenanya tidak aneh juga jika banyak kalangan yang berpendapat bahwa asas non-retroactive hanya berlaku bagi hukum pidana materil saja. Hal ini diperkuat lagi jika pasal 28 i UUD 1945 di atas ditafsirkan dengan metode penafsiran hukum yang ada maka terlihat bahwa pasal tersebut memang dimaksudkan hanya untuk pidana saja khususnya pidana materil.

Pertanyaannya adalah apakah asas non-retroaktif hanya berlaku untuk hukum pidana saja atau juga berlaku untuk bidang hukum yang lain, serta apakah asas tersebut hanya berlaku untuk hukum materil atau juga berlaku untuk hukum formil.

Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut penulis akan mengujinya dengan ilustrasi-ilustrasi kasus dibawah ini.

Misalnya pada tahun 2000 terjadi hubungan seksual sesama jenis antara A yang berusia 25 tahun melakukan perbuatan cabul dengan B yang pada saat itu berusia 20 tahun. Pada saat itu aturan perdata menyatakan bahwa batas usia kedewasaan laki-laki adalah 18 tahun. Berdasarkan hal tersebut maka terhadap A tidak dapat dijatuhkan pasal 292 KUHP yang melarang pencabulan dengan orang dibawah umur karena B berdasarkan aturan perdata saat itu dianggap telah dewasa. Kemudian pada tahun 2001 terjadi perubahan aturan perdata yang menyatakan bahwa batas usia kedewasaan laki-laki adalah 21 tahun. Jika pendapat yang menyatakan bahwa asas non-retroactive hanya berlaku untuk hukum pidana materil yang berarti pula bahwa aturan perdata dapat berlaku surut maka A menjadi dapat dipidana dengan pasal 292 KUHAP. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal tersebut tepat?

Pada tahun 1990 A mempunyai utang sejumlah 100 juta dengan B karena A kalah judi dengan B. Pada tahun 1990 perjudian dianggap sebagai obyek yang halal sehingga perikatan yang terjadi karena perjudian dianggap memenuhi syarat sahnya perjanjian. Atas utang tersebut A dan B kemudian membuat perjanjian utang piutang dimana A berkewajiban mencicil utang setiap tahunnya sebesar 10 juta. Utang itu kemudian lunas pada tahun 2000 yang berarti perjanjian tersebut berakhir. Pada tahun 2001 terjadi perubahan suatu aturan yang menyatakan bahwa judi merupakan sesutu yang dilarang, yang berarti bahwa perikatan yang terjadi karena perjudian dianggap tidak sah dan batal demi hukum. Mengetahui hal tersebut kemudian A meminta B untuk mengembalikan utang yang telah dilunasinya dengan alasan bahwa perjanjian utang piutang diantara mereka tidak sah dan harus batal demi hukum. Pertanyannya apakah tindakan A sah atau tidak?

Contoh lain misalnya dalam bidang hukum administrasi negara. Misalnya pada tahun 1999 aturan mengenai syarat pencalonan anggota DPR tidak mencantumkan syarat ijazah. A yang pada saat itu tidak mempunyai ijazah kemudian mencalonkan diri hingga akhirnya terpilih menjadi anggota DPR hingga 2004. Pada tahun 2002 terjadi perubahan UU Pemilu yang menyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi anggota DPR adalah memiliki ijazah S1. Jika asas non-retroactive hanya berlaku untuk hukum pidana materil maka berarti UU Pemilu (selain aturan pidananya) dapat berlaku surut. Jika benar demikian maka berarti A pada tahun 2002 harus dinyatakan tidak sah sebagai anggota DPR karena ia tidak memiliki ijazah S1. yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal itu tepat atau tidak?

Contoh lain misalnya pada tahun 1980 biaya untuk memperpanjang KTP ditetapkan sebesar Rp. 1.000. Pada tahun 2000 kemudian terbit suatu aturan yang menetapkan biaya menjadi sebesar Rp. 5.000. A semenjak tahun 1980 hingga tahun 2000 telah 6 kali memperpanjang KTP dengan membayar Rp. 1000. Mengetahui perubahan biaya tersebut, B yang merupakan petugas kelurahan kemudian meminta agar A membayar kepada Kelurahan sebesar Rp. 24.000 (Rp. 4.000 x 6) karena menganggap selama ini berarti A telah kurang dalam membayar biaya perpanjangan KTP. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal itu tepat?


Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi di atas penulis berkesimpulan bahwa tidaklah benar jika asas non-retroactive hanya berlaku untuk hukum pidana saja, karena penerapan aturan secara retroaktif dalam peraturan perundang-undangan selain hukum pidana ternyata juga mengakibatkan dirugikannya hak-hak sesorang bahkan dapat berakibat terjadinya kekacauan hukum serta ketidakpastian hukum.

Mengenai pertanyaan selanjutnya, apakah asas non retroactive hanya berlaku untuk hukum materil atau juga terhadap hukum formil penulis juga akan menjawabnya dengan memberikan ilustrasi perkara.

Misalnya menurut KUHAP penangkapan terhadap seorang tersangka oleh penyidik dianggap sah walaupun tidak disertai dengan surat penangkapan. A pada tanggal 5 Febuari 2000 ditangkap oleh penyidik tanpa disertai surat penangkapan. Pada tanggal 10 Februari 2000 terjadi perubahan KUHAP yang menyatakan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan jika disertai dengan surat penangkapan, dan penangkapan yang tidak sah mengakibatkan dihentikannya penyidikan. Pertanyannya adalah apakah A berhak untuk menuntut dihentikannya penyidikan karena menurutnya penangkapan yang dilakukan terhadapnya pada tanggal 5 februari 2000 tidak sah berdasarkan KUHAP yang baru? Jika ya, lalu bagaimana terhadap perkara yang seperti demikian yang pada saat itu sudah berada di tingkat banding atau kasasi?

Contoh lain misalnya dalam acara perdata dinyatakan bahwa gugatan perdata sah jika diajukan di pengadilan didaerah hukum tergugat. Pada tanggal 1 juni 2004 X yang tinggal di Bandung mengajukan gugatan terhadap Y ke PN Bogor dimana Y berdomisili. Kemudian ketika perkara sudah berlangsung selama 2 hari terjadi perubahan hukum acara perdata yang menyatakan bahwa gugatan perdata sah jika diajukan di pengadilan di daerah hukum penggugat. Apakah gugatan Y kemudian menjadi tidak sah karena PN Bogor tidak mempunyai kompentensi relatif? Jika dinyatakan bahwa gugatan tersebut tidak sah karena hukum acara perdata tersebut dapat berlaku surut, lalu bagaimana dengan perkara-perkara lain yang sudah berada di tingkat PT maupun kasasi, apakah harus dinyatakan tidak sah juga karena masalah perubahan kompentensi relatif dari PN asalnya?

Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi di atas penulis berkesimpulan bahwa asas non retroaktif tidak hanya berlaku untuk hukum materil/substansif akan tetapi juga berlaku untuk hukum formil/ajektif atau hukum yang mengatur mengenai acara. Penerapan hukum formil secara surut ternyata dapat mengakibatkan kekacauan administration of justice yang sangat pelik. Jadi menurut pendapat penulis pada prinsipnya asas non-retroaktif mengikat semua peraturan perundang-undangan, atau dengan kata lain pada prinsipnya semua peraturan harus bersifat prospektif.

Pendapat penulis di atas sejalan dengan fakta bahwa di Indonesia pernah terdapat aturan yang telah mengatur mengenai asas non-retroative ini, tepatnya pada masa Hindia Belanda, yaitu pada pasal 3 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) yang terjemahannya :
“Undang-undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan yang berlaku surut.”
[v]

Atas ketentuan tersebut Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Dr. Soerjono Soekanto dalam bukunya Perundang Undangan dan Yurisprudensi menjelaskan bahwa arti daripada asas ini adalah bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku.
[vi]

Terlepas dari apakah aturan AB tersebut saat ini masih berlaku atau tidak di Indonesia aturan tersebut menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya asas non retroactive memang tidak hanya berlaku untuk hukum pidana materil saja, akan tetapi asas tersebut berlaku untuk semua aturan perundang-undangan.

Lalu, apakah dengan demikian berarti penulis sependapat dengan pendapat MK yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang memeriksa perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan, atau dengan kata lain tindakan KPK memeriksa perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan adalah tindakan yang retroaktive?


Peraturan yang Retroaktif dan Penerapan Aturan yang Retroaktif

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut penulis akan membahas terlebih dahulu bagaimana seharusnya asas Non Retroactive tersebut diterapkan. Dari ketentuan Pasal 28 i UUD 1945 serta AB terlihat bahwa asas non retroaktif berkaitan dengan 2 hal, yaitu peraturan perundang-undangan dan penerapan norma dari suatu peraturan perundangan.

Suatu peraturan dapat dianggap melanggar asas non-retroaktif jika aturan didalamnya menyatakan bahwa norma yang diaturnya berlaku juga untuk peristiwa terjadi sebelum aturan tersebut diundangkan. Pemberlakuan secara surut ini umumnya terdapat dalam pasal yang mengatur ketentuan penutup. Umumnya dalam ketentuan penutup tersebut disebutkan secara tegas bahwa aturan tersebut berlaku surut. Akan tetapi tak jarang pemberlakuan surut tidak disebutkan secara tegas, hanya saja hal tersebut dapat dilihat dari adanya selisih yang mundur antara tanggal pemberlakuan dengan tanggal pengesahan.

Di Indonesia Perpu No. 1 Tahun 2002 bukanlah peraturan yang pertama kali yang memberlakukan peraturan secara surut. Tercatat lebih dari 10 peraturan pernah diberlakukan secara surut. Aturan yang berlaku surut bukan saja yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR, akan tetapi Mahkamah Agung pada masa Prof. Wirjono Prodjodikoro pun pernah mengeluarkan Perma yang diberlakukan secara surut, yaitu Perma No. 1/1954 dan Perma No. 2/1954 yang memberlakukan secara surut hingga 5 tahun kebelakang.
[vii] Umumnya peraturan-peraturan yang berlaku surut tersebut merupakan produk perundang-undangan sebelum tahun 1970. Penerapan secara surut juga pernah terjadi pada tahun 2000, yaitu PP No. 72/2000 tentang Penyesuaian Pensiun Pokok Mantan Pimpinan Dan Hakim Anggota Mahkamah Agung Serta Janda/Dudanya yang berlaku surut hingga 8 bulan kebelakang.

Pelanggaran terhadap asas non-retroaktif juga dapat terjadi dalam penerapan suatu peraturan, walaupun peraturan itu sendiri tidak tidak melanggar asas non-retroaktif. Misalnya A didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang tempus delictinya terjadi pada tahun 1997 dengan menggunakan UU No. 31/1999. Dalam hal yang demikian maka yang salah adalah penerapan atas aturannya, bukan aturan itu sendiri. Jika dalam perkara demikian terdakwa menuntut agar UU No. 31/1999 tersebut melanggar asas non-retroaktif maka permohonan tersebut tentunya tidak tepat.

Sekarang permasalahannya adalah bagaimana cara untuk mengetahui apakah suatu tindakan melanggar asas non-retroaktif atau tidak. Seperti telah disebutkan diatas Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Dr. Soerjono Soekanto mengartikan pasal 2 AB bahwa arti daripada asas ini adalah bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku. Secara a contrario berarti bahwa undang-undang tidak boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang yang terjadi sebelum undang-undang tersebut dinyatakan berlaku.

Dari pengertian di atas terlihat bahwa ukuran suatu penerapan hukum adalah retroaktif atau tidak adalah peraturan itu sendiri. Seperti dalam ilustrasi-ilustrasi A-F di atas terlihat bahwa tindakan yang dinilai dihadapkan dengan aturan yang mengatur tindakan tersebut. Misalnya dalam ilustrasi E terlihat bahwa penilaian apakah sah atau tidaknya penangkapan yang dilakukan oleh penyidik dilihat dari bagaimana aturan penangkapan itu sendiri ketika penangkapan dilakukan. Di sini kita tidak mempertanyakan kapan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka terjadi atau tempus delictinya. Ketika yang ingin diuji adalah apakah perbuatan tersangka dapat dipidana atau tidak baru kita akan berbicara apakah pada saat perbuatan dilakukan oleh terdakwa perbuatan tersebut termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana atau tidak.

Sekarang mari kita uji perkara KPK ini. Dalam pasal 6c UU KPK disebutkan bahwa KPK mempunya kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Untuk menguji apakah KPK bertindak secara retroaktif adalah dengan cara melihat kapan kewenangan dari pasal 6c tersebut dipergunakan. Jika kewenangan dipergunakan sebelum UU KPK diundangkan maka KPK bertindak secara retroaktif, akan tetapi jika kewenangan dipergunakan setelah UU KPK diundangkan maka maka tindakan tersebut tidak termasuk sebagai tindakan yang retroaktif melainkan tindakan yang tetap dalam kerangka prospektif.


Ilustrasi tindakan yang prospektif
UU 31/99
UU 30/2002



Penyidikan / Penerapan UU 30/2002
Tempus Delicti / Penerapan UU 31/99





UU 31/99
UU 30/2002
Tempus Delicti / Penerapan UU 31/99
Penyidikan / Penerapan UU 30/2002 Ilustrasi tindakan yang retroaktif/retrospektif









Ilustrasi kedua memang terkesan janggal, karena bagaimana mungkin kewenangan UU 30/2002 tersebut dipergunakan padahal institusinya sendiri belum berdiri. Esensi dari ilustrasi di atas berada pada penerapan suatu aturan. Ilustrasi kedua sebenarnya pernah terjadi, atau setidaknya secara hipotetis, yaitu dengan berlakunya Undang-Undang Darurat Nomor 29 Tahun 1950 tentang Penetapan Kejahatan-Kejahatan Dan Pelanggaran-Pelanggaran Yang Dilakukan Dalam Masa Pekerjaan Oleh Para Pejabat, Yang Menurut Pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat Dalam Tingkat Pertama Dan Tertinggi Diadili Oleh Mahkamah Agung Indonesia. Undang-undang tersebut ditetapkan pada tanggal 9 Agustus 1950, akan tetapi dalam Pasal 2 nya disebutkan bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan, serta berlaku surut sampai pada tanggal 27 Desember 1949.

Contoh kongkrit yang menunjukan sangat mungkinya terjadi penerapan yang retroaktif seperti ilustrasi diatas yaitu pada masalah gratifikasi.

Dalam Pasal 16 UU 30/2002 disebutkan bahwa Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Kemudian pada Pasal 12B jo. Pasal 12c UU 20/2001dinyatakan bahwa jika gratifikasi/hadiah yang diterima oleh pegawai negeri tidak dilaporkan dalam waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi tersebut kepada KPK dianggap sebagai suap. Pada tanggal 5 januari 2002 A yang merupakan Pegawai Negeri menerima hibah sebesar Rp. 15 juta. Karena pada saat itu KPK belum berdiri A tentunya tidak melaporkan gratifikasi itu kepada KPK. Kemudian setelah KPK berdiri KPK kemudian mengetahui bahwa A pada tanggal itu telah menerima gratifikasi. Jika kemudian KPK menuntut A karena setelah 30 hari diterimanya gratifikasi tersebut A tidak melaporkan kepada KPK maka hal yang demikian inilah yang dikategorikan sebagai tindakan yang retroaktif.

Kembali ke pertanyaan apakah penulis sependapat dengan pendapat MK yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang memeriksa perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan, atau dengan kata lain tindakan KPK memeriksa perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan adalah tindakan yang retroaktive maka penulis secara tegas menyatakan tidak sependapat. Penulis sependapat dengan MK ketika MK menyatakan bahwa UU KPK harus berlaku secara prospektif, akan tetapi tidak sependapat jika dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tindakan prospektis dilihat dari tempus delicti tindak pidana dilakukan. Tindakan yang dilakukan KPK selama tindakan tersebut dilakukan setelah UU KPK disahkan adalah tindakan yang termasuk dalam tindakan yang prospektif terlepas dari tempus delicti dari perkara yang diperiksa.

Pertimbangan ‘Argumentum A Contrario’

Dalam pertimbangannya MK menyatakan : “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Tanggal pengundangan undang-undang dimaksud adalah 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan;

Oleh karena MK mengaitkan UU KPK dengan peristiwa pidana maka yang pertama harus dibuktikan untuk mengetahui apakah penafsiran tersebut benar adalah : apakah UU KPK mengatur aturan pidana? Ternyata UU KPK memang mengatur larangan pidana, yaitu dalam Bab X Pasal 65 s/d 67. Jadi jika seseorang dituntut dengan menggunakan ketiga pasal dimana tempus delictinya terjadi sebelum tanggal 27 Desember 2002 maka tindakan tersebut adalah tindakan yang retroaktif.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah jika KPK menuntut seorang tersangka dengan UU No. 31/1999 atau UU No. 20/2001 dapat dikatakan KPK telah melanggar asas non-retroaktif? Jika kedua UU itu baru diberlakukan bersamaan dengan UU KPK maka KPK tidak berwenang, akan tetapi faktanya ternyata tidak.

Dampak Putusan MK

Selain berdampak terhadap KPK, pertimbangan hukum MK sebenarnya juga potensial akan berdampak pada pembentukan institusi-institusi baru lainnya. Karena dengan demikian berarti pembentukan institusi-institusi baru juga hanya mengikat peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah aturan pembentukan institusi tersebut berlaku.

Dampak yang akan terkena adalah pada masalah ekstradisi. Jika perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura berhasil maka perjanjian tersebut akan dituangkan dalam Undang Undang, dan Undang-undang tersebut tentunya akan mengatur mengenai waktu pengundangan. Dengan menggunakan logika putusan MK tersebut berarti ekstradisi hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang tempus delictinya terjadi setelah UU Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura tersebut diundangkan. Lalu apa yang akan terjadi? Selain para koruptor akan segera berbondong-bondong ke Singapura sebelum perjanjian ekstradisi tersebut di sahkan, hal ini juga akan menimbulkan kendala teknis yang luar biasa, yaitu pihak Indonesia maupun Singapura harus meneliti terlebih dahulu kapan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka yang akan diekstradisi dilakukan sebelum melakukan ekstradisi.

Dampak lainnya juga akan sangat mungkin terjadi terhadap pembentukan institusi-institusi peradilan di wilayah baru seperti kabupaten baru maupun provinsi baru. Dalam wilayah-wilayah itu tentunya akan dibentuk institusi Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan baru dengan suatu aturan perundang-undangan yang didalam aturan itu tentunya juga akan memuat pasal mengenai waktu diundangkannya peraturan itu. Jika logika pertimbangan hukum MK dianggap benar maka hal itu berarti institusi-institusi penegak hukum yang baru hanya berwenang memeriksa perkara-perkara yang tempus delictinya terjadi setelah institusi itu dibentuk. Lalu bagaimana dengan nasib perkara yang terjadi sebelum institusi dibentuk? Perkara tersebut tidak dapat diperiksa oleh pengadilan yang baru karena dianggap melanggar asas non-retroaktif, sementara pengadilan yang lama tidak dapat memeriksa perkara karena pengadilannya sudah tidak ada. Hal ini berarti terjadi kekosongan hukum.

Selain berdampak terhadap aturan-aturan yang lain, logika MK itu sebenarnya juga bertentangan dengan dirinya sendiri. Jika secara argumentum a contrario Ketentuan Penutup yang mengatur tentang tanggal diundangkannya suatu peraturan ditafsirkan seperti penafsiran MK tersebut maka berarti MK juga tidak berwenang memeriksa UU KPK itu sendiri. Karena UU KPK tersebut lahir setahun sebelum UU MK disahkan.


Notes
[i] Makalah ini dipresentasikan pada Diskusi Publik yang diadakan oleh LeIP dengan tema “Masa Depan KPK Pasca Putusan Judicial Review UU KPK” pada tanggal 28 Februari 2005 , di Hotel Aryaduta Jakarta.
[ii] Penulis adalah Pjs. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
[iii] Paragraf ini jika dibaca secara seksama akan terasa janggal jika setelah kata ‘KPK’ tidak disisipi kata ‘hanya’. Penulis menduga hal ini terjadi karena adanya kekhilafan dalam pengetikan.
[iv] Pengecualian atas kejahatan yang bersifat extra ordinary dapat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam UU tersebut diperbolehkan pemeriksaan dan penhukuman atas kejahatan HAM Berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26/2000 tersebut dengan menggunakan UU tersebut dengan ketentuan khusus, yaitu dengan menggunakan mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc yang pembentukannya harus disetujui terlebih dahulu oleh DPR.
[v] Purbacaraka, Purnadi, & Soerjono Soekanto, “Perundang-Undangan dan Yurisprudensi”, Bahan PTHI, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1993) Hal. 7.
[vi] Ibid. hal. 8

Kamis, 21 Februari 2008

Koalisi Pemantau Peradilan (KPP)


PROSES PEMILIHAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI HARUS LEBIH TRANSPARAN DAN
MELIBATKAN PARTISIPASI PUBLIK

Sejak awal Februari 2008, DPR telah melakukan penjaringan nama-nama calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan akan segera melangsungkan mekanisme fit and proper test yang merupakan tahapan paling menentukan dalam pemilihan hakim MK. Langkah DPR ini diikuti pula oleh Mahkamah Agung (MA) yang telah menetapkan dua orang calon. Hanya Pemerintah yang belum mengumumkan secara resmi nama-nama calon hakim MK yang akan diusulkan ke DPR.

Dalam konteks pemilihan calon hakim MK baik dari Pemerintah, DPR maupun MA, Koalisi Pemantau Peradilan menilai bahwa proses pemilihan hakim MK tidak memiliki standar baku dan prosedur yang baik. Dapat dikatakan bahwa pemilihan dan mekanismenya lebih tidak pasti dibandingkan pemilihan hakim agung. Setiap calon dari masing-masing unsur (sementara ini dari DPR dan MA) ternyata dipilih sesuai dengan metode yang "disukai" masing-masing lembaga dan cenderung mengingkari prinsip transparansi dan partisipasi publik.

Di dalam berbagai kesempatan DPR menyatakan akan menggelar mekanisme fit and proper test dalam pemilihan calon hakim MK, namun di sisi lain DPR tidak bertindak transparan dan partisipatif. Masyarakat masih belum leluasa dan mudah mendapatkan informasi yang lengkap dan utuh mengenai profil/latar belakang ke-21 orang calon hakim MK. Bahkan, jadwal atau alokasi waktu yang direncanakan Komisi III untuk menyeleksi calon-calon tersebut tidak diketahui dengan pasti. Akibatnya, masyarakat sulit dan tidak dapat berpartisipasi secara maksimal. Apalagi keinginan masyarakat yang ingin menginformasikan rekam jejak calon, tentu menjadi perkara yang rumit karena ketidakadaan saluran (yang seharusnya disediakan oleh Komisi III sebagai alat kelengkapan DPR yang akan menyeleksi calon hakim MK). Situasi yang kurang lebih sama terjadi pula di lingkungan MA. Munculnya dua orang calon hakim MK usulan MA lepas sama sekali dari pengamatan dan jangkauan publik. Pilihan MA masih menimbulkan tanda tanya dan kerisauan masyarakat khususnya mengenai aspek integritas dan "kenegarawanan" calon.

Oleh karena itu, Koalisi Pemantau Peradilan mendesak agar nama-nama calon berikut profil lengkap dan alokasi waktu seleksi disosialisasikan kepada publik, sehingga membuka ruang yang cukup dan accessible bagi publik untuk menyampaikan masukan dan laporan seputar profil dan rekam jejak calon hakim MK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 UU MK.

Koalisi juga meminta kepada DPR agar pemilihan hakim MK memperhatikan komposisi hakim MK sehingga hakim MK terpilih memiliki pandangan dan latar belakang keilmuwan yang beragam, tidak terjebak semata-mata dengan latar belakang ahli hukum tata negara semata. Disamping itu keterwakilan gender juga sebaiknya diperhatikan, karena seluruh calon yang mengikuti tahapan seleksi di DPR ataupun yang dicalonkan oleh MA tidak menunjukan komposisi yang berimbang ataupun keterwakilan perempuan.
Koalisi juga mendesak agar penguasaan dan penghormatan terhadap HAM menjadi parameter bagi DPR dalam menilai dan memilih hakim MK, termasuk bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).



Jakarta, 21 Februari 2008


Koalisi Pemantau Peradilan

Zainal Abidin (YLBHI) Hp. 08128292015
Wahyu Wagiman (ELSAM) Hp. 081311228246
Uli Parulian (The Indonesian Legal Resource Center/ILRC) Hp. 08176683013
Arsil (LEIP) Hp. 081310624634
Emerson Yuntho (ICW) 081389979760
Rahmat Bagja (Center for Law Information/Celi) 08129535660
Purnomo (LeiP) Hp. 081314600631
Tandyono Bawor (LBH Semarang)

Senin, 18 Februari 2008

Tuntutan Transparansi dalam Penanganan Kasus Dana BI

Oleh: Adnan Topan Husodo

Penetapan tiga tersangka, yakni Burhanudin Abdullah (Gubernur Bank Indonesia/BI), Rusli Simandjuntak (Kepala Biro Gubernur BI) dan Oey Hoey Tiong (Direktur Hukum BI) dalam kasus dugaan korupsi dana BI merupakan langkah maju yang telah diambil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sikap ini tergolong berani, mengingat sosok Burhanudin terutama ketika ditetapkan sebagai tersangka masih aktif sebagai Gubernur BI.

Riwayat pemberantasan korupsi di Indonesia sebelumnya tidak pernah menyajikan realitas seperti sekarang ini. Pada periode sebelumnya, aktif-tidaknya seseorang sebagai pejabat negara akan menentukan jalannya proses hukum.

Roesdihardjo, mantan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia baru ditangani secara cepat oleh pimpinan KPK periode sebelumnya setelah dirinya tidak lagi menjabat posisi duta besar. Bahkan penetapan statusnya sebagai tersangka disembunyikan sekian lama. Kontan hal ini memicu kritik tajam dari masyarakat luas.

Pendek kata, cara-cara demikian tidak populer di mata banyak orang karena kentalnya aroma tebang pilih. Oleh karenanya, penetapan tersangka -terlepas dari jabatan yang melekat padanya- perlu didukung oleh semua kalangan, dengan tetap menjaga kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya agenda tersembunyi dalam proses hukum kasus BI.

Mengingat sedari dulu, kita telah menuntut supaya KPK benar-benar menunjukan tajinya, terutama ketika berhadapan dengan para pejabat yang memiliki kekuasaan besar. Harapannya, kasus BI akan menjadi titik awal bagi KPK untuk semakin tegas terhadap praktik korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara.

Agenda Politik

Ihwal agenda politik dalam penetapan tersangka kasus BI oleh KPK memang sulit untuk dielakkan. Sinyalemen demikian muncul karena dimulainya tahap penyidikan dugaan korupsi BI berdekatan waktunya dengan agenda pengajuan calon Gubernur BI yang baru ke DPR oleh Presiden.

Ditambah lagi, penetapan tersangka oleh KPK hanya mengarah kepada tiga orang saja, tidak atau belum menjangkau semua nama pejabat, baik yang ada di BI maupun DPR, sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti awal yang ada. Politisasi terhadap penegakan hukum kasus korupsi memang telah menjadi isu yang terus-menerus bergulir. Maka dari itu, pimpinan KPK periode sebelumnya memilih untuk menunda proses hukum yang dapat memicu tuduhan adanya pemelintiran terhadap agenda pemberantasan korupsi.

Setidaknya setelah momen politik, seperti pilkada, pemilu, atau pemilihan pejabat publik lainnya usai, proses hukum akan dengan sendirinya dianggap netral. Sebenarnya situasi seperti ini telah menciptakan dilema tersendiri. Jika tidak memberikan bukti cepat kepada masyarakat tentu akan lahir anggapan bahwa KPK telah mengendapkan kasus. Akan tetapi dengan proses hukum yang berjalan, ada sandungan lain yang dihadapi, yakni tudingan bahwa politisasi telah terjadi.

Tiga Langkah

Supaya kondisi yang dilematis ini dapat diselesaikan, sekaligus meredam kecurigaan publik atas skenario di balik penetapan tersangka kasus BI, KPK memerlukan langkah-langkah lanjutan sekaligus respons yang tepat.

Pertama, KPK harus bisa meyakinkan kepada publik bahwa penetapan tersangka kasus BI bukan sesuatu yang disengaja dalam konteks pemilihan Gubernur BI. Akan tetapi merupakan sebuah proses yang tahap penyidikannya kebetulan hampir berdekatan dengan agenda pemilihan Gubernur BI yang baru.

Oleh karenanya, di sini KPK perlu secara transparan menjelaskan, alasan ketiga orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Tentunya kita percaya, dalam penetapan tersangka, KPK tidak sembrono melakukannya.

KPK mestinya telah memiliki bukti-bukti yang cukup sehingga proses hukum harus diteruskan ke tahap yang lebih maju. Hal ini mengingat dalam tahap penyidikan, KPK tidak bisa menghentikan perkara, selayaknya di Kepolisian atau Kejaksaan. Istilah SP3 tidak dikenal dalam kamus hukum KPK.

Wacana yang berkembang jelas mencurigai bahwa penetapan Gubernur BI seorang diri, di luar Dewan Gubernur BI lainnya yang ikut menyetujui pengucuran dana Rp 100 miliar dari YPPI bertujuan mengganjal terpilihnya kembali Burhanudin sebagai Gubernur BI untuk masa jabatan kedua.

Maka dari itu, KPK harus bisa menerangkan dengan sejelas-jelasnya kepada publik, bahwa posisi Gubernur BI, dalam kaitannya dengan penyimpangan dana YPPI bukanlah kekeliruan individual, akan tetapi sebuah kemufakatan dengan pejabat BI yang lain.

Kedua, penetapan tiga tersangka kasus BI haruslah diikuti dengan penetapan tersangka lainnya yang secara formil dan materiil terlibat dalam kasus ini. Dari berbagai dokumen rujukan yang digunakan untuk bukti awal penyelidikan, beberapa nama dari lapisan kalangan yang berbeda, baik dari BI, legislatif, pengacara, dan Kejaksaan, muncul atau disebut-sebut telah menerima dana haram tersebut.

Dari internal BI sendiri, tidak hanya Gubernur BI yang menyetujui penggunaan dana YPPI untuk berbagai keperluan yang diindikasikan sebagai tindak pidana korupsi, akan tetapi menyeret para anggota Dewan Gubernur BI yang lain.

Secara hukum, bubuhan tanda tangan sebagai bentuk persetujuan atas kebijakan yang menyimpang tersebut seharusnya dapat dijerat dengan hukum yang sama. Hal ini mengingat adanya tanggung jawab dan otoritas yang melekat pada pejabat BI itu sendiri.

Ketiga, mengingat kasus BI ini diduga kuat terkait persoalan suap, maka KPK juga harus dapat menyeret pihak lain yang telah menerima dana dari BI secara tidak sah. Dalam hal ini, yang terutama adalah anggota dan mantan anggota DPR. Ironi kasus DKP yang menjadikan Rokhmin Dahuri sebagai terpidana seharusnya tidak boleh terulang dalam kasus BI.

Kita tentunya masih ingat bagaimana KPK menghentikan semua proses hukum yang terkait dengan sumbangan ilegal DKP ke berbagai pihak, termasuk ke anggota DPR.

Hingga akhir penyelesaian kasus, dan Rokhmin telah divonis oleh Pengadilan Tipikor, tidak ada satu orang pun yang menerima dana DKP diproses oleh KPK. Kasus itu pula yang kian menguatkan persepsi publik bahwa KPK telah melakukan praktik tebang pilih.

Mengingat harapan masyarakat atas penuntasan kasus BI begitu tinggi, maka pimpinan KPK seharusnya merespons hal tersebut dengan memberikan hasil kerja yang memuaskan.

Nilai strategis dari kasus BI juga semestinya menjadi pemicu bagi KPK untuk melangkah lebih jauh, dengan menyeret semua pelaku yang terlibat dalam kasus BI. Karena dengan itu sajalah, KPK dapat dianggap telah melakukan pemberantasan korupsi tanpa pilih bulu. Kita sangat berharap, kasus ini justru tidak menyeret KPK ke kancah pertikaian politik dan perebutan kekuasaan belaka.

Penulis adalah Anggota Badan Pekerja ICW
(Disalin dari Suarapembaruan, 17 Februari 2008)

Senin, 04 Februari 2008

RUU Tindak Pidana Korupsi versi Masyarakat

Untuk melihat RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi versi Koalisi Pemantau Peradilan klik link dibawah ini.
http://docs.google.com/Doc?id=dfs5ktg_0dcv55hg7

Workshop Anti Korupsi

Workshop Anti Korupsi
Tempat : Hotel Santika Slipi ruang Cempaka 1
Tanggal : 4-6 Februari 2008
Penyelenggara : ICW-KPP-Kemitraan

Kamis, 31 Januari 2008

Empat Alasan Menolak Unsur Jaksa dan Polisi

Empat Alasan Menolak Unsur Jaksa dan Polisi
Sebagai Calon Pimpinan KPK


Jakarta) Sepuluh nama calon pimpinan KPK telah diserahkan Pansel KPK kepada Presiden SBY. Dari Presiden, nama-nama tersebut akan disampaikan kepada Komisi III DPR untuk diseleksi melalui fit and proper test.

Untuk mengantisipasi keputusan paling buruk yang diambil Komisi III DPR RI, KPP pada hari Selasa, (2/20/07) telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden supaya ada penyaringan ulang oleh Presiden, khususnya untuk nama-nama kandidat yang berlatar belakang jaksa dan polisi.

Melalui penyaringan ulang, Presiden dapat meminta Pansel KPK untuk mencari kandidat pimpinan KPK yang lebih berkualitas sehingga tidak membuka ruang bagi Komisi III DPR RI untuk bermanuver.

Dasar penolakan KPP terhadap jaksa dan polisi dalam kepemimpinan KPK dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, terdapat cacat proses seleksi yang dilakukan Pansel KPK karena mendasarkan penilaian pada kuota. Kuota yang dimaksud adalah keharusan untuk menempatkan perwakilan jaksa dan polisi sebagai bagian tak terpisahkan dari komposisi calon pimpinan KPK. Dengan adanya kuota, penilaian Pansel KPK atas kandidat menjadi sangat subjektif dan sulit untuk dipertanggungjawabkan kualitasnya.

Kedua, dari hasil penelusuran atas rekam jejak kandidat pimpinan KPK yang dilakukan oleh KPP, kandidat dari jaksa dan polisi paling banyak disoroti oleh masyarakat, baik terkait dengan dugaan pemerasan, dugaan menerima suap, upaya melakukan penyuapan kepada jurnalis, plagiatisme, hingga menerima sesuatu dari para pihak yang berkaitan dengan jabatan.

Ketiga, tidak ada dalam klausul UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang mengharuskan pimpinan KPK berasal dari jaksa dan polisi. Dengan demikian, kuota yang menjadi pedoman Pansel KPK dalam menyeleksi kandidat telah melampaui apa yang diamanatkan oleh UU.

Keempat, belajar dari kasus Irawady Joenoes, anggota Komisi Yudisial yang ditangkap KPK karena isu suap, calon pimpinan KPK haruslah memiliki integritas tinggi. Bukan sesuatu yang kebetulan karena Irawady adalah mantan jaksa, dimana lingkungan dan sistemnya telah membiasakan seseorang terlibat langsung dalam perbuatan KKN atau membiarkan hal itu terjadi.


Dengan argumentasi diatas, KPP mendesak Presiden SBY segera mengambil langkah proaktif dengan melakukan seleksi ulang atas nama-nama (jaksa dan polisi) yang bermasalah. Langkah tersebut penting ditempuh guna menyelamatkan program pemberantasan korupsi KPK dari usaha-usaha pembusukan.

Jakarta, 2 Oktober 2007
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP)

Skenario Pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):

Skenario Pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):
Catatan KPP terhadap Fit and Propert Test Komisi III DPR


Terpilihnya Antasari Azhar sebagai Ketua KPK untuk periode 2007-2011 dalam fit and proper test oleh Komisi III DPR RI menimbulkan gelombang penolakan yang kuat dari masyarakat luas. Hal ini tidak lepas dari persoalan bahwa sosok Ketua KPK terpilih dipandang memiliki integritas yang sangat dipertanyakan. Demikian halnya beberapa pimpinan KPK terpilih juga tidak memiliki karakter kuat sebagai sosok Pimpinan KPK yang diharapkan. Dikhawatirkan, masa depan KPK untuk 4 tahun kedepan akan menjadi lebih buram.

Lebih jauh dari sekedar itu, Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menilai bahwa fit and proper test calon Pimpinan KPK oleh Komisi III DPR RI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari skenario besar untuk membubarkan KPK. Beberapa indikasi yang memperkuat kesimpulan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, Komisi III DPR RI tidak memilih calon pimpinan KPK yang memiliki kemampuan dan keberanian luar biasa dalam memberantas korupsi. Padahal ketika korupsi telah menjadi persoalan besar di negeri ini, seharusnya dijawab dengan keseriusan Komisi III dengan menempatkan orang-orang yang mampu menahkodai KPK sebagai lembaga penegakan hukum yang mumpuni dan efektif.

Dengan terpilihnya beberapa Pimpinan KPK Jilid II, yang merupakan kombinasi dari integritas yang dipertanyakan dengan keberanian yang kurang, masa depan KPK secara perlahan mengarah pada kehancuran. Ditakutkan, buruknya kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK jilid II menjadi legitimasi yang kuat bagi DPR untuk membubarkan KPK.

Sinyal kuat bahwa KPK akan dibubarkan juga dapat dikaitkan dengan suara mayoritas di Komisi III DPR bahwa KPK adalah lembaga ad hoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan. Pembubaran itu akan semakin mendapatkan momentumnya pada saat kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK tidak sesuai dengan harapan masyarakat luas.

Kedua, fit and proper test calon Pimpinan KPK oleh Komisi III DPR terjebak pada politisasi mengingat calon-calon yang terpilih sudah ditentukan sebelumnya. Artinya, preferensi politik Komisi III terhadap calon sudah ditentukan sebelum fit and proper test dilakukan. Demikian halnya pada saat fit and proper test, muncul favoritisme, perbedaan perlakuan, dukungan secara langsung terhadap calon, tekanan terhadap satu calon tapi tidak terhadap calon yang lain, beberapa isu pokok terkait dengan calon yang bersumber dari laporan masyarakat tidak muncul sebagai bahan pertanyaan bagi Komisi III DPR.

Lebih jauh dari itu, mekanisme pemilihan Ketua KPK melalui dua putaran dengan hanya melibatkan dua kandidat merupakan setting untuk menempatkan Antasari Azhar sebagai pemenang. Hal ini tampak dari migrasi suara yang cukup signifikan, ketika putaran kedua dilakukan. Selain itu, setting dua kandidat ini juga dilakukan untuk mengkonsentrasikan suara para anggota komisi III, sehingga "kecelakaan" pada putaran pertama tidak terjadi.

Oleh karena itu, investigasi, penelurusan rekam jejak oleh Komisi III yang digembar-gemborkan serta masukan dari masyarakat mengenai integritas calon tidak diperhitungkan sama sekali. Dengan kata lain, fit and proper test menjadi sekedar alat untuk meligitmasi preferensi politik yang sudah ditentukan sebelumnya.

Ketiga, pilihan Komisi III DPR atas Pimpinan KPK Jilid II merupakan dari kepentingan DPR untuk mengamankan agenda politik 2009 sekaligus bagian dari penyelamatan kader-kader partai dari jerat hukum oleh KPK. Data terhadap penindakan oleh KPK terhadap para aktor menunjukan bahwa sebagian besarnya berasal dari partai besar, yakni Golkar dan PDI P (lihat tabel). Tidak heran jika dukungan Golkar dan PDI P terhadap Antasari Azhar demikian jelas terlihat.

Untuk menyelamatkan KPK dari usaha pembubaran, KPP menilai program pemberantasan korupsi oleh KPK Jilid II harus diletakan pada beberapa indikator yang relevan dan strategis, yakni:

Pertama, pemulihan penegakan hukum. Selama ini masalah besar dalam pemberantasan korupsi adalah tidak efektifnya institusi Kejaksaan dan Kepolisian dalam menangani kasus korupsi karena praktek korupsi itu sendiri. KPK dibentuk salah satunya untuk mengembalikan efektivitas fungsi penegakan hukum Kejaksaan dan Kepolisian. Oleh karena itu, KPK 2007-2011 harus memfokuskan agendanya pada mekanisme supervisi atas kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus – kasus korupsi. Selain itu upaya pemulihan penegakan hokum, juga harus dilakukan dengan membersihkan institusi Kejaksaan dan Kepolisian dari praktek korupsi yang sudah menggurita.

Dari gambaran di atas, maka salah satu tolak ukur keberhasilan dari KPK Jilid II, di bawah pimpinan Anthasari Azhar dapat dilihat dari penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian, termasuk bila kasus itu menyangkut institusi mereka (kepolisian dan Kejaksaan).

Kedua, pemulihan sektor ekonomi. Program pemberantasan korupsi KPK tidak boleh bertentangan, akan tetapi harus mendukung agenda pemulihan sektor ekonomi. Kami menilai bahwa berbagai kasus korupsi yang menyebabkan hancurnya pondasi ekonomi, sekaligus menyebabkan hilangnya potensi pertumbuhan seperti kasus BLBI sebagai kasus di sektor perbankan, sektor perpajakan dan sektor BUMN. Oleh karena itu, sektor-sektor tersebut harus menjadi prioritas KPK kedepan.

Ketiga, pembersihan lembaga politik. Produk kebijakan yang korup telah membuat kualitas dan tujuan penyusunan kebijakan menjadi sangat melenceng dari tujuan dasarnya untuk mensejahterakan masyarakat. Kasus suap BI kepada DPR yang saat ini ditangani oleh KPK memberikan gambaran kuat bahwa dalam proses legislasi, peranan uang sangatlah kuat. Oleh karena itu, untuk menghindari penyusunan kebijakan jatuh pada arena jual beli kepentingan politik-bisnis, maka KPK harus memfokuskan diri pada penanganan kasus korupsi di lembaga politik semisal DPR.

Ketiga indikator diatas menjadi alat ukur penilaian yang relevan bagi kinerja pemberantasan korupsi KPK kedepan.

Jakarta, 11 Desember 2007

Koalisi Pemantau Peradilan
(■ ICW ■ KRHN ■ PSHK ■ LeIP ■ MaPPI ■ TII ■ LBH Jakarta ■ TRAFIC ■ ILRC ■)