Jumat, 07 Maret 2008

Kewenangan KPK vs Putusan MK

Kewenangan KPK Terhadap Perkara Korupsi
Yang Terjadi Sebelum Tahun 2003
Arsil

Dorongan bagi KPK saat ini semakin keras untuk mengambil alih kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan BLBI, khususnya sejak Kejaksaan menghentikan penyelidikan (kasus?) pada tanggal 29 Februari 2008 yang lalu serta tertangkap tangannya Ketua Tim 35 Kejaksaan UTG.

Saat ini memang masih terdengar kabar-kabar yang berpendapat bahwa KPK tidak dapat menangani kasus BLBI, khususnya yang terjadi sebelum 2002, maupun kasus-kasus korupsi besar lainnya yang terjadi sebelum tahun 1999, hal ini terkait dengan dua hal, pertama Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Hak Uji Materil-nya No. 069/PUU-II/2004 dan kedua ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 30/2002 tentang KPTPK. Terlepas dari apakah KPK sependapat dengan hal tersebut atau tidak, namun sejak diputusnya permohonan Hak Uji materil yang diajukan oleh Bram Manopo tersebut memang tidak pernah lagi terlihat kiprah KPK dalam menangani kasus korupsi yang terjadi (tempus delicti) sebelum berlakunya UU KPK (2002) atau bahkan sebelum terbentuknya KPK (2003).

Atas pendapat-pendapat tersebut kami perlu merasa perlu untuk memberikan pendapat hukum kami mengenai masalah tersebut.

1. Kewenangan KPK terkait Putusan MK No. 069/PUU-II/2004
Pertimbangan hukum MK yang kontroversial tersebut berbunyi:

Pasal 72 Undang-undang KPK, yang berada di bawah judul bab KETENTUAN PENUTUP, selengkapnya berbunyi, “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Tanggal pengundangan undang-undang dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72 tersebut adalah jelas bahwa Undang-undang KPK berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan;
(hal. 70)

Dengan demikian, terlepas dari perbedaan pendapat antara Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Para Ahli tentang asas retroaktif apakah meliputi hukum materiil maupun formil, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK (hanya –pen) dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannnya Undang-undang KPK (vide Pasal 72) sampai dengan terbentuknya KPK (vide Pasal 70), sebagaimana telah diuraikan di atas;
[1]
(hal. 73)
(cetak tebal dari penulis)

Permohonan Hak Uji Materil ini diajukan oleh Bram Manopo yang (pada saat itu) merupakan terdakwa Korupsi bersama-sama dengan Mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh (dalam dakwaan terpisah). Putusan MK tersebut diputus oleh MK sebelum Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan putusannya baik terhadap Bram Manopo sendiri maupun Abdullah Puteh. Tak lama setelah Putusan MK tersebut dijatuhkan Pengadilan Tipikor menjatuhkan putusannya, yang pada intinya menghukum keduanya. Dari putusan yang menghukum tersebut terlihat bahwa Pengadilan Tipikor tetap menganggap bahwa KPK tetap berwenang untuk menangangi perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum berdirinya KPK, atau dengan kata lain Pengadilan Tipikor tidak sependapat dengan pendapat hukum MK sebagaimana dikutip diatas. Dalam tingkat banding terjadi hal yang sama, Pengadilan Tinggi tetap menghukum terdakwa walapun terdakwa telah membawa putusan MK tersebut sebagai bagian dari memori bandingnya.

Selanjutnya dalam tingkat kasasi Abdullah Puteh kembali mengajukan pertimbangan hukum MK sebagai salah satu alasan dalam memori kasasinya. Namun atas alasan tersebut Mahkamah Agung melalui putusannya no. 1334 K/Pid/2005 berpendapat lain, dalam pertimbangan hukumnya di halaman 80-82 Mahkamah Agung berpendapat:

“ Menimbang bahwa dengan adanya pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi khususnya pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Undang-Undang aquo, pertimbangan mana menimbulkan pro dan kontra antara ahli hukum yang dapat berimplikasi negatif terhadap penerapan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung memandang perlu mempertimbangkan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang memberikan pertimbangan atas pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, mengingat pertimbangan tersebut, menimbulkan penafsiran sebagai pendapat Mahkamah Konstitusi…dst” (hal. 80)

“ Menimbang, bahwa dengan menunjuk pertimbangan Mahkamah Konstitusi khususnya pertimbangan mengenai Pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK berlaku kedepan (prospective) sekalipun diakui bahwa masalah penerapan Undang-Undang bukan wewenang Mahkamah Konstitusi dihubungkan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditetapkan dalam pasal 23 c ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 jo pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa pertimbangan tersebut diatas adalah berlebihan (overbodig), kontradiktif dan melampaui batas wewenangnya serta dapat menghambat upaya percepatan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum mengenai wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 24 C ayat (1) dan (2) Undang-Undang-Undang Dasr Negara RI 1945 jo pasal 10 ayat (1), (2), pasal 56 ayat (3) dan (5), pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 dihubungkan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor : 069/PUU/II/2004, Judex Factie telah dengan tepat dan benar mengadili perkara a quo menurut ketentuan Undang-Undang. Berdasarkan pertimbangan tersebut keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa huruf B butir 4 sampai dengan 16 tidak dapat dibernarkan, karena tidak beralasan menurut hukum;” (hal. 81-82)
(cetak tebal dari penulis)

Dari pertimbangan hukum Mahkamah Agung terlihat jelas bahwa Mahkamah Agung tidak sependapat dengan pendapat hukum Mahkamah Konstitusi mengenai tidak berwenangnya KPK dalam menangani perkara korupsi yang terjadi sebelum 2002. Dengan ditolaknya argumentasi Pemohon Kasasi yang mendalilkan bahwa Pengadilan Tinggi Tipikor salah menerapkan hukum dengan mendasarkan diri pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka hal ini berarti Pengadilan Tipikor berwenang mengadili perkara yang diajukan oleh KPK yang tempus delicti-nya terjadi sebelum berlakunya UU KPK, dan oleh karenanya hal tersebut berarti juga bahwa KPK dapat mengusut perkara korupsi yang demikian.


2. Kewenangan KPK untuk Memeriksa Korupsi yang Terjadi Sebelum Tahun 1999

Permasalahan hukum lain selain masalah diatas yang sering mengemuka adalah pertanyaan apakah KPK berwenang atau tidak mengusut tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tahun 1999. Atas masalah ini sebagian kalangan berpendapat (yang sayangnya pendapat ini cukup dominan) bahwa KPK tidak berwenang dikarenakan kewenangan KPK berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dibatasi hanya berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 yang artinya KPK tidak berwenang untuk mengusut Tipikor yang masih menggunakan UU No. 3 Tahun 1971.

Apakah pendapat ini tepat?

Jika dilihat lebih jauh, pendapat tersebut melandaskan diri pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 2002. Pasal tersebut berbunyi:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dari ketentuan tersebut sekilas memang terkesan bahwa KPK tidak berwenang untuk mengadili perkara yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 atau yang masih menggunakan UU No. 3 Tahun 1971, karena tidak ada satu pun ketentuan dalam UU KPK yang menyinggung-nyinggung mengenai UU No. 3 Tahun 1971 tersebut.

Namun apabila kita telusuri lebih jauh UU Tipikor khususnya UU No. 20 Tahun 2001, khususnya dalam pasal 43A terlihat bahwa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya yang perbuatan-perbuatan pidana yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 namun juga perbuatan-perbuatan yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1971 apabila perbuatan tersebut terjadi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999.

Selengkapnya Pasal 43A tersebut berbunyi:
Pasal 43A
Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jadi dengan mendasarkan diri pada “pintu” yang “dibuka” oleh pasal 43A UU No. 20 Tahun 2001 tersebut maka secara hukum KPK berwenang juga untuk mengadili perkara Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999.


3. Beberapa Catatan Lain Terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (Unsur Melawan Hukum)

UU Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK merupakan UU yang cukup sering di uji di Mahkamah Konstitusi. Selain pada Putusan MK No. 069/PUU-II/2004, putusan Mahkamah Konstitusi lainnya yang juga cukup kontroversial dan menarik perhatian publik adalah putusan No. 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan penjelasan pasal 2 khususnya penjelasan mengenai unsur ‘secara melawan hukum’ tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Putusan tersebut dinilai oleh banyak kalangan dapat menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi, karena hal ini berarti untuk dapat dianggap melawan hukum maka harus dibukitkan adanya pelanggaran hukum tertulis. Namun, mengenai hal ini menarik jika melihat bagaimana Mahkamah Agung berpendapat mengenai apakah unsur “hukum” harus diartikan sebagai hukum tertulis paska diputusnya Putusan MK tersebut.

Setidaknya, setelah putusan MK tersebut Mahkamah Agung telah mengeluarkan 2 Putusannya dimana didalamnya terdapat masalah pengertian unsur melawan hukum dalam pasal 2 UU Tipikor, yaitu pada putusan MA No. 2214 K/PID/2006 dengan terdakwa H. Hamid Djiman di halaman 85-87 menyatakan sebagai berikut :

Menimbang, bahwa mengenai pengertian “ melawan hukum “ dalam tindak pidana korupsi Mahkamah Agung adalah berpendapat sebagai berikut :
1. bahwa Mahkamah Agung tetap memberi makna “perbuatan melawan hukum” yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.31 tahun 1999, baik dalam arti formil maupun dalam arti materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006, No.003 / PUU-IV / 2006 penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

2. bahwa memperhatikan butir 1 tersebut, maka Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 Tahun 1999 akan memperhatikan doktrin dan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa unsur “secara melawan hukum” dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yang meliputi fungsi positif dan negatifnya

3. bahwa Yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain Undang-Undang dan kebiasaan serta traktat yang dapat digunakan oleh Mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang dihadapinya, Yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat


Dalam perkara lainnya, Mahkamah Agung kembali memberikan pertimbangan hukum atas unsur melawan hukum yang serupa dengan pertimbangan di atas, yaitu dalam perkara No. 2608-K-Pid/2006 dengan terdakwa Achmad Rojadi (Kasus KPU). Dalam halaman 94-96 putusan tersebut Mahkamah Agung menyatakan:



“Selain itu sehubungan dengan keberatan tersebut tidak berkelebihan apabila dikemukakan pendirian Mahkamah Agung yang tetap memberi makna ”perbuatan melawan hukum” yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang N0.31 tahun 1999, baik dalam arti formil maupun dalam arti materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006,
No.003/PUU-IV/2006 Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, mengingat alasanalasan sebagai berikut :
bahwa dengan dinyatakannya penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 sebagai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,maka yang dimaksud dengan unsur ”melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang tersebut menjadi tidak jelas rumusannya, oleh karena itu berdasarkan doctrine ”Sens-Clair (la doctrine du senclair) hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan :
a. bahwa Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menentukan ”Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, karena menurut pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 tahun 2004, ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”;
b. bahwa Hakim dalam mencari makna ”melawan hukum” seharusnya mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit (bandingkan M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, halaman 120);
c. bahwa Hamaker dalam keterangannya Het recht en de maatschappij dan juga Recht, Wet en Rechter antara lain berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup didalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi I.H. Hymans (dalam keterangannya : Het recht der werkelijkheid), hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan ”hukum dan makna sebenarnya” (Het recht der werkelijkheid
d. (lihat Prof. Dr. Achmad Ali. SH. MH. Menguak tibir hukum (suatu kajian Filosofis dan Sosiologis). Cetakan ke.II (kedua), 2002, hal.140);
e. bahwa ”apabila kita memperhatikan Undang-Undang, ternyata bagi kita, bahwa Undang-Undang tidak saja menunjukan banyak kekurangankakurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian Undang-Undang memberi kuasa kapada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan Undang-Undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan Undang-Undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan Undang-Undang secara gramatikal atau histories baik ”recht maupun wetshistoris” (Lie Oen Hok, Jusprudensi sebagai Sumber Hukum, Pidato diucapkan pada waktu peresmian Pemangkuan Jabatan Guru Basar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia di Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11.)


Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
KPK secara hukum dapat melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan atas perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum berlakuknya UU KPK bahkan sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Untuk membuktikan unsur melawan hukum KPK tetap dapat menggunakan doktrin Ajaran Melawan Hukum Materil dalam Fungsi Positif maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung.


Sekian, semoga bermanfaat.

[1] Paragraf ini jika dibaca secara seksama akan terasa janggal jika setelah kata ‘KPK’ tidak disisipi kata ‘hanya’. Penulis menduga hal ini terjadi karena adanya kekhilafan dalam pengetikan.

Seputar Masalah Asas Non-Retroaktif

Seputar Masalah Asas Non-Retroaktif[i]
Arsil[ii]

Pada tanggal 15 Februari 2005 yang lalu Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan atas Permohonan Judicial Review Pasal 68 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPTPK (Putusan No. 069/PUU-II/2004). Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Judicial Review yang diajukan oleh Pemohon dalam hal ini Bram Manopo yang juga merupakan salah satu tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pembelian helikopter Rusia oleh Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dengan alasan pihak Pemohon tidak mempunyai Legal Standing dalam permohonan tersebut.

Putusan Judicial Review ini dinilai mempunyai nilai yang sangat penting bagi pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya bagi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Korupsi karena dalam pertimbangannya MK berpendapat bahwa KPK tidak berwenang memeriksa tindak pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan. Selengkapnya kutipan pendapat tersebut:

Pasal 72 Undang-undang KPK, yang berada di bawah judul bab KETENTUAN PENUTUP, selengkapnya berbunyi, “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Tanggal pengundangan undang-undang dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72 tersebut adalah jelas bahwa Undang-undang KPK berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan;
(hal. 70)

Dengan demikian, terlepas dari perbedaan pendapat antara Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Para Ahli tentang asas retroaktif apakah meliputi hukum materiil maupun formil, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK (hanya –pen) dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannnya Undang-undang KPK (vide Pasal 72) sampai dengan terbentuknya KPK (vide Pasal 70), sebagaimana telah diuraikan di atas;
[iii]
(hal. 73)

Pendapat MK itu menimbulkan polemik yang cukup hebat di masyarakat. Pihak-pihak yang selama ini memperjuangkan pemberantasan tindak pidana korupsi menyayangkan pendapat MK. Di antara pihak-pihak yang menganggap bahwa untuk perkara korupsi seharusnya asas non-retroactive dapat disimpangi karena korupsi (seharusnya) merupakan extra ordinary crime, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa asas non-retroactive hanya mengikat untuk aturan materil/substansal akan tetapi tidak berlaku bagi hukum formil/ajektif. Di sisi lain ada juga kalangan yang setuju dengan pendapat MK di atas. Sementara terhadap Mahkamah Konstitusinya sendiri banyak pihak yang menuduh bahwa MK terlalu legalistik formal dalam melihat suatu permasalahan hukum.

Dari polemik tersebut perdebatan kemudian berkembang menjadi perdebatan apakah korupsi (seharusnya) merupakan extra-ordinary crime atau tidak, apakah asas non-retroaktive hanya berlaku pada hukum materil/substansial atau juga mengikat hukum formil/ajektif, hingga apakah pertimbangan hukum MK mengikat atau tidak. Terhadap obyek perdebatan yang terakhir ini tak urung Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Jimly Assidiqie ‘terpaksa’ turun tangan dengan menggelar konfrensi pers setelah membacakan putusannya dengan mengatakan bahwa yang mengikat hanya dictum putusannya saja, tidak untuk pertimbangan hukumnya.

Melihat dari perdebatan-perdebatan di atas penulis melihat bahwa walaupun putusan MK telah diputus dan final akan tetapi ternyata putusan tersebut masih menyisakan satu persoalan hukum berkaitan dengan masalah aturan apa saja yang terikat dengan asas non-retroactive serta bagaimana cara menguji suatu aturan maupun penerapan aturan sesuai dengan asas tersebut atau tidak.

Perdebatan-perdebatan di atas pada dasarnya terjadi oleh karena perkara semacam ini, yang mempertanyakan apakah suatu institusi yang baru dibentuk dapat menangani perkara yang terjadi sebelum institusi tersebut lahir atau tidak merupakan perkara yang pertama di Indonesia. Masalah ini kemudian dikaitkan dengan asas non-retroactive yang juga doktrin serta aturan yang ada khususnya di Indonesia masih sangat minim. Memang sudah pernah perkara yang ada yang berkaitan dengan hukum materil seperti pada perkara UU Terorisme dan UU No. 14/1985.

PENGERTIAN DAN PENGATURAN ASAS NON-RETROACTIVE

Sebelum melangkah lebih jauh perlu diperjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Asas non retroactive. Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan Retroactivie adalah extending in scope or effect to matters that have occured in the past. Di indonesia istilah yang dekat dan sering dipergunakan adalah ‘berlaku surut’. Asas non-retroaktif ini biasanya juga dikaitkan dengan asas yang ada dalam hukum pidana yang berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege poenali (Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan)

Di Indonesia 2 (dua) aturan yang berkaitan dengan asas non-retroactive atau larangan memberlakukan surut suatu peraturan perundangan, yaitu dalam Pasal 28 i UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Penerapan asas ini sebenarnya tidak mutlak, terdapat pengecualian-pengecualian, seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP dan tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crimes.
[iv]

Kedua aturan itu pada dasarnya merupakan penerapan dari asas yang ada dalam hukum pidana, oleh karenanya tidak aneh juga jika banyak kalangan yang berpendapat bahwa asas non-retroactive hanya berlaku bagi hukum pidana materil saja. Hal ini diperkuat lagi jika pasal 28 i UUD 1945 di atas ditafsirkan dengan metode penafsiran hukum yang ada maka terlihat bahwa pasal tersebut memang dimaksudkan hanya untuk pidana saja khususnya pidana materil.

Pertanyaannya adalah apakah asas non-retroaktif hanya berlaku untuk hukum pidana saja atau juga berlaku untuk bidang hukum yang lain, serta apakah asas tersebut hanya berlaku untuk hukum materil atau juga berlaku untuk hukum formil.

Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut penulis akan mengujinya dengan ilustrasi-ilustrasi kasus dibawah ini.

Misalnya pada tahun 2000 terjadi hubungan seksual sesama jenis antara A yang berusia 25 tahun melakukan perbuatan cabul dengan B yang pada saat itu berusia 20 tahun. Pada saat itu aturan perdata menyatakan bahwa batas usia kedewasaan laki-laki adalah 18 tahun. Berdasarkan hal tersebut maka terhadap A tidak dapat dijatuhkan pasal 292 KUHP yang melarang pencabulan dengan orang dibawah umur karena B berdasarkan aturan perdata saat itu dianggap telah dewasa. Kemudian pada tahun 2001 terjadi perubahan aturan perdata yang menyatakan bahwa batas usia kedewasaan laki-laki adalah 21 tahun. Jika pendapat yang menyatakan bahwa asas non-retroactive hanya berlaku untuk hukum pidana materil yang berarti pula bahwa aturan perdata dapat berlaku surut maka A menjadi dapat dipidana dengan pasal 292 KUHAP. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal tersebut tepat?

Pada tahun 1990 A mempunyai utang sejumlah 100 juta dengan B karena A kalah judi dengan B. Pada tahun 1990 perjudian dianggap sebagai obyek yang halal sehingga perikatan yang terjadi karena perjudian dianggap memenuhi syarat sahnya perjanjian. Atas utang tersebut A dan B kemudian membuat perjanjian utang piutang dimana A berkewajiban mencicil utang setiap tahunnya sebesar 10 juta. Utang itu kemudian lunas pada tahun 2000 yang berarti perjanjian tersebut berakhir. Pada tahun 2001 terjadi perubahan suatu aturan yang menyatakan bahwa judi merupakan sesutu yang dilarang, yang berarti bahwa perikatan yang terjadi karena perjudian dianggap tidak sah dan batal demi hukum. Mengetahui hal tersebut kemudian A meminta B untuk mengembalikan utang yang telah dilunasinya dengan alasan bahwa perjanjian utang piutang diantara mereka tidak sah dan harus batal demi hukum. Pertanyannya apakah tindakan A sah atau tidak?

Contoh lain misalnya dalam bidang hukum administrasi negara. Misalnya pada tahun 1999 aturan mengenai syarat pencalonan anggota DPR tidak mencantumkan syarat ijazah. A yang pada saat itu tidak mempunyai ijazah kemudian mencalonkan diri hingga akhirnya terpilih menjadi anggota DPR hingga 2004. Pada tahun 2002 terjadi perubahan UU Pemilu yang menyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi anggota DPR adalah memiliki ijazah S1. Jika asas non-retroactive hanya berlaku untuk hukum pidana materil maka berarti UU Pemilu (selain aturan pidananya) dapat berlaku surut. Jika benar demikian maka berarti A pada tahun 2002 harus dinyatakan tidak sah sebagai anggota DPR karena ia tidak memiliki ijazah S1. yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal itu tepat atau tidak?

Contoh lain misalnya pada tahun 1980 biaya untuk memperpanjang KTP ditetapkan sebesar Rp. 1.000. Pada tahun 2000 kemudian terbit suatu aturan yang menetapkan biaya menjadi sebesar Rp. 5.000. A semenjak tahun 1980 hingga tahun 2000 telah 6 kali memperpanjang KTP dengan membayar Rp. 1000. Mengetahui perubahan biaya tersebut, B yang merupakan petugas kelurahan kemudian meminta agar A membayar kepada Kelurahan sebesar Rp. 24.000 (Rp. 4.000 x 6) karena menganggap selama ini berarti A telah kurang dalam membayar biaya perpanjangan KTP. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal itu tepat?


Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi di atas penulis berkesimpulan bahwa tidaklah benar jika asas non-retroactive hanya berlaku untuk hukum pidana saja, karena penerapan aturan secara retroaktif dalam peraturan perundang-undangan selain hukum pidana ternyata juga mengakibatkan dirugikannya hak-hak sesorang bahkan dapat berakibat terjadinya kekacauan hukum serta ketidakpastian hukum.

Mengenai pertanyaan selanjutnya, apakah asas non retroactive hanya berlaku untuk hukum materil atau juga terhadap hukum formil penulis juga akan menjawabnya dengan memberikan ilustrasi perkara.

Misalnya menurut KUHAP penangkapan terhadap seorang tersangka oleh penyidik dianggap sah walaupun tidak disertai dengan surat penangkapan. A pada tanggal 5 Febuari 2000 ditangkap oleh penyidik tanpa disertai surat penangkapan. Pada tanggal 10 Februari 2000 terjadi perubahan KUHAP yang menyatakan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan jika disertai dengan surat penangkapan, dan penangkapan yang tidak sah mengakibatkan dihentikannya penyidikan. Pertanyannya adalah apakah A berhak untuk menuntut dihentikannya penyidikan karena menurutnya penangkapan yang dilakukan terhadapnya pada tanggal 5 februari 2000 tidak sah berdasarkan KUHAP yang baru? Jika ya, lalu bagaimana terhadap perkara yang seperti demikian yang pada saat itu sudah berada di tingkat banding atau kasasi?

Contoh lain misalnya dalam acara perdata dinyatakan bahwa gugatan perdata sah jika diajukan di pengadilan didaerah hukum tergugat. Pada tanggal 1 juni 2004 X yang tinggal di Bandung mengajukan gugatan terhadap Y ke PN Bogor dimana Y berdomisili. Kemudian ketika perkara sudah berlangsung selama 2 hari terjadi perubahan hukum acara perdata yang menyatakan bahwa gugatan perdata sah jika diajukan di pengadilan di daerah hukum penggugat. Apakah gugatan Y kemudian menjadi tidak sah karena PN Bogor tidak mempunyai kompentensi relatif? Jika dinyatakan bahwa gugatan tersebut tidak sah karena hukum acara perdata tersebut dapat berlaku surut, lalu bagaimana dengan perkara-perkara lain yang sudah berada di tingkat PT maupun kasasi, apakah harus dinyatakan tidak sah juga karena masalah perubahan kompentensi relatif dari PN asalnya?

Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi di atas penulis berkesimpulan bahwa asas non retroaktif tidak hanya berlaku untuk hukum materil/substansif akan tetapi juga berlaku untuk hukum formil/ajektif atau hukum yang mengatur mengenai acara. Penerapan hukum formil secara surut ternyata dapat mengakibatkan kekacauan administration of justice yang sangat pelik. Jadi menurut pendapat penulis pada prinsipnya asas non-retroaktif mengikat semua peraturan perundang-undangan, atau dengan kata lain pada prinsipnya semua peraturan harus bersifat prospektif.

Pendapat penulis di atas sejalan dengan fakta bahwa di Indonesia pernah terdapat aturan yang telah mengatur mengenai asas non-retroative ini, tepatnya pada masa Hindia Belanda, yaitu pada pasal 3 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) yang terjemahannya :
“Undang-undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan yang berlaku surut.”
[v]

Atas ketentuan tersebut Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Dr. Soerjono Soekanto dalam bukunya Perundang Undangan dan Yurisprudensi menjelaskan bahwa arti daripada asas ini adalah bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku.
[vi]

Terlepas dari apakah aturan AB tersebut saat ini masih berlaku atau tidak di Indonesia aturan tersebut menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya asas non retroactive memang tidak hanya berlaku untuk hukum pidana materil saja, akan tetapi asas tersebut berlaku untuk semua aturan perundang-undangan.

Lalu, apakah dengan demikian berarti penulis sependapat dengan pendapat MK yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang memeriksa perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan, atau dengan kata lain tindakan KPK memeriksa perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan adalah tindakan yang retroaktive?


Peraturan yang Retroaktif dan Penerapan Aturan yang Retroaktif

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut penulis akan membahas terlebih dahulu bagaimana seharusnya asas Non Retroactive tersebut diterapkan. Dari ketentuan Pasal 28 i UUD 1945 serta AB terlihat bahwa asas non retroaktif berkaitan dengan 2 hal, yaitu peraturan perundang-undangan dan penerapan norma dari suatu peraturan perundangan.

Suatu peraturan dapat dianggap melanggar asas non-retroaktif jika aturan didalamnya menyatakan bahwa norma yang diaturnya berlaku juga untuk peristiwa terjadi sebelum aturan tersebut diundangkan. Pemberlakuan secara surut ini umumnya terdapat dalam pasal yang mengatur ketentuan penutup. Umumnya dalam ketentuan penutup tersebut disebutkan secara tegas bahwa aturan tersebut berlaku surut. Akan tetapi tak jarang pemberlakuan surut tidak disebutkan secara tegas, hanya saja hal tersebut dapat dilihat dari adanya selisih yang mundur antara tanggal pemberlakuan dengan tanggal pengesahan.

Di Indonesia Perpu No. 1 Tahun 2002 bukanlah peraturan yang pertama kali yang memberlakukan peraturan secara surut. Tercatat lebih dari 10 peraturan pernah diberlakukan secara surut. Aturan yang berlaku surut bukan saja yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR, akan tetapi Mahkamah Agung pada masa Prof. Wirjono Prodjodikoro pun pernah mengeluarkan Perma yang diberlakukan secara surut, yaitu Perma No. 1/1954 dan Perma No. 2/1954 yang memberlakukan secara surut hingga 5 tahun kebelakang.
[vii] Umumnya peraturan-peraturan yang berlaku surut tersebut merupakan produk perundang-undangan sebelum tahun 1970. Penerapan secara surut juga pernah terjadi pada tahun 2000, yaitu PP No. 72/2000 tentang Penyesuaian Pensiun Pokok Mantan Pimpinan Dan Hakim Anggota Mahkamah Agung Serta Janda/Dudanya yang berlaku surut hingga 8 bulan kebelakang.

Pelanggaran terhadap asas non-retroaktif juga dapat terjadi dalam penerapan suatu peraturan, walaupun peraturan itu sendiri tidak tidak melanggar asas non-retroaktif. Misalnya A didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang tempus delictinya terjadi pada tahun 1997 dengan menggunakan UU No. 31/1999. Dalam hal yang demikian maka yang salah adalah penerapan atas aturannya, bukan aturan itu sendiri. Jika dalam perkara demikian terdakwa menuntut agar UU No. 31/1999 tersebut melanggar asas non-retroaktif maka permohonan tersebut tentunya tidak tepat.

Sekarang permasalahannya adalah bagaimana cara untuk mengetahui apakah suatu tindakan melanggar asas non-retroaktif atau tidak. Seperti telah disebutkan diatas Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Dr. Soerjono Soekanto mengartikan pasal 2 AB bahwa arti daripada asas ini adalah bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku. Secara a contrario berarti bahwa undang-undang tidak boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang yang terjadi sebelum undang-undang tersebut dinyatakan berlaku.

Dari pengertian di atas terlihat bahwa ukuran suatu penerapan hukum adalah retroaktif atau tidak adalah peraturan itu sendiri. Seperti dalam ilustrasi-ilustrasi A-F di atas terlihat bahwa tindakan yang dinilai dihadapkan dengan aturan yang mengatur tindakan tersebut. Misalnya dalam ilustrasi E terlihat bahwa penilaian apakah sah atau tidaknya penangkapan yang dilakukan oleh penyidik dilihat dari bagaimana aturan penangkapan itu sendiri ketika penangkapan dilakukan. Di sini kita tidak mempertanyakan kapan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka terjadi atau tempus delictinya. Ketika yang ingin diuji adalah apakah perbuatan tersangka dapat dipidana atau tidak baru kita akan berbicara apakah pada saat perbuatan dilakukan oleh terdakwa perbuatan tersebut termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana atau tidak.

Sekarang mari kita uji perkara KPK ini. Dalam pasal 6c UU KPK disebutkan bahwa KPK mempunya kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Untuk menguji apakah KPK bertindak secara retroaktif adalah dengan cara melihat kapan kewenangan dari pasal 6c tersebut dipergunakan. Jika kewenangan dipergunakan sebelum UU KPK diundangkan maka KPK bertindak secara retroaktif, akan tetapi jika kewenangan dipergunakan setelah UU KPK diundangkan maka maka tindakan tersebut tidak termasuk sebagai tindakan yang retroaktif melainkan tindakan yang tetap dalam kerangka prospektif.


Ilustrasi tindakan yang prospektif
UU 31/99
UU 30/2002



Penyidikan / Penerapan UU 30/2002
Tempus Delicti / Penerapan UU 31/99





UU 31/99
UU 30/2002
Tempus Delicti / Penerapan UU 31/99
Penyidikan / Penerapan UU 30/2002 Ilustrasi tindakan yang retroaktif/retrospektif









Ilustrasi kedua memang terkesan janggal, karena bagaimana mungkin kewenangan UU 30/2002 tersebut dipergunakan padahal institusinya sendiri belum berdiri. Esensi dari ilustrasi di atas berada pada penerapan suatu aturan. Ilustrasi kedua sebenarnya pernah terjadi, atau setidaknya secara hipotetis, yaitu dengan berlakunya Undang-Undang Darurat Nomor 29 Tahun 1950 tentang Penetapan Kejahatan-Kejahatan Dan Pelanggaran-Pelanggaran Yang Dilakukan Dalam Masa Pekerjaan Oleh Para Pejabat, Yang Menurut Pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat Dalam Tingkat Pertama Dan Tertinggi Diadili Oleh Mahkamah Agung Indonesia. Undang-undang tersebut ditetapkan pada tanggal 9 Agustus 1950, akan tetapi dalam Pasal 2 nya disebutkan bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan, serta berlaku surut sampai pada tanggal 27 Desember 1949.

Contoh kongkrit yang menunjukan sangat mungkinya terjadi penerapan yang retroaktif seperti ilustrasi diatas yaitu pada masalah gratifikasi.

Dalam Pasal 16 UU 30/2002 disebutkan bahwa Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Kemudian pada Pasal 12B jo. Pasal 12c UU 20/2001dinyatakan bahwa jika gratifikasi/hadiah yang diterima oleh pegawai negeri tidak dilaporkan dalam waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi tersebut kepada KPK dianggap sebagai suap. Pada tanggal 5 januari 2002 A yang merupakan Pegawai Negeri menerima hibah sebesar Rp. 15 juta. Karena pada saat itu KPK belum berdiri A tentunya tidak melaporkan gratifikasi itu kepada KPK. Kemudian setelah KPK berdiri KPK kemudian mengetahui bahwa A pada tanggal itu telah menerima gratifikasi. Jika kemudian KPK menuntut A karena setelah 30 hari diterimanya gratifikasi tersebut A tidak melaporkan kepada KPK maka hal yang demikian inilah yang dikategorikan sebagai tindakan yang retroaktif.

Kembali ke pertanyaan apakah penulis sependapat dengan pendapat MK yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang memeriksa perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan, atau dengan kata lain tindakan KPK memeriksa perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan adalah tindakan yang retroaktive maka penulis secara tegas menyatakan tidak sependapat. Penulis sependapat dengan MK ketika MK menyatakan bahwa UU KPK harus berlaku secara prospektif, akan tetapi tidak sependapat jika dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tindakan prospektis dilihat dari tempus delicti tindak pidana dilakukan. Tindakan yang dilakukan KPK selama tindakan tersebut dilakukan setelah UU KPK disahkan adalah tindakan yang termasuk dalam tindakan yang prospektif terlepas dari tempus delicti dari perkara yang diperiksa.

Pertimbangan ‘Argumentum A Contrario’

Dalam pertimbangannya MK menyatakan : “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Tanggal pengundangan undang-undang dimaksud adalah 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan;

Oleh karena MK mengaitkan UU KPK dengan peristiwa pidana maka yang pertama harus dibuktikan untuk mengetahui apakah penafsiran tersebut benar adalah : apakah UU KPK mengatur aturan pidana? Ternyata UU KPK memang mengatur larangan pidana, yaitu dalam Bab X Pasal 65 s/d 67. Jadi jika seseorang dituntut dengan menggunakan ketiga pasal dimana tempus delictinya terjadi sebelum tanggal 27 Desember 2002 maka tindakan tersebut adalah tindakan yang retroaktif.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah jika KPK menuntut seorang tersangka dengan UU No. 31/1999 atau UU No. 20/2001 dapat dikatakan KPK telah melanggar asas non-retroaktif? Jika kedua UU itu baru diberlakukan bersamaan dengan UU KPK maka KPK tidak berwenang, akan tetapi faktanya ternyata tidak.

Dampak Putusan MK

Selain berdampak terhadap KPK, pertimbangan hukum MK sebenarnya juga potensial akan berdampak pada pembentukan institusi-institusi baru lainnya. Karena dengan demikian berarti pembentukan institusi-institusi baru juga hanya mengikat peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah aturan pembentukan institusi tersebut berlaku.

Dampak yang akan terkena adalah pada masalah ekstradisi. Jika perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura berhasil maka perjanjian tersebut akan dituangkan dalam Undang Undang, dan Undang-undang tersebut tentunya akan mengatur mengenai waktu pengundangan. Dengan menggunakan logika putusan MK tersebut berarti ekstradisi hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang tempus delictinya terjadi setelah UU Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura tersebut diundangkan. Lalu apa yang akan terjadi? Selain para koruptor akan segera berbondong-bondong ke Singapura sebelum perjanjian ekstradisi tersebut di sahkan, hal ini juga akan menimbulkan kendala teknis yang luar biasa, yaitu pihak Indonesia maupun Singapura harus meneliti terlebih dahulu kapan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka yang akan diekstradisi dilakukan sebelum melakukan ekstradisi.

Dampak lainnya juga akan sangat mungkin terjadi terhadap pembentukan institusi-institusi peradilan di wilayah baru seperti kabupaten baru maupun provinsi baru. Dalam wilayah-wilayah itu tentunya akan dibentuk institusi Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan baru dengan suatu aturan perundang-undangan yang didalam aturan itu tentunya juga akan memuat pasal mengenai waktu diundangkannya peraturan itu. Jika logika pertimbangan hukum MK dianggap benar maka hal itu berarti institusi-institusi penegak hukum yang baru hanya berwenang memeriksa perkara-perkara yang tempus delictinya terjadi setelah institusi itu dibentuk. Lalu bagaimana dengan nasib perkara yang terjadi sebelum institusi dibentuk? Perkara tersebut tidak dapat diperiksa oleh pengadilan yang baru karena dianggap melanggar asas non-retroaktif, sementara pengadilan yang lama tidak dapat memeriksa perkara karena pengadilannya sudah tidak ada. Hal ini berarti terjadi kekosongan hukum.

Selain berdampak terhadap aturan-aturan yang lain, logika MK itu sebenarnya juga bertentangan dengan dirinya sendiri. Jika secara argumentum a contrario Ketentuan Penutup yang mengatur tentang tanggal diundangkannya suatu peraturan ditafsirkan seperti penafsiran MK tersebut maka berarti MK juga tidak berwenang memeriksa UU KPK itu sendiri. Karena UU KPK tersebut lahir setahun sebelum UU MK disahkan.


Notes
[i] Makalah ini dipresentasikan pada Diskusi Publik yang diadakan oleh LeIP dengan tema “Masa Depan KPK Pasca Putusan Judicial Review UU KPK” pada tanggal 28 Februari 2005 , di Hotel Aryaduta Jakarta.
[ii] Penulis adalah Pjs. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
[iii] Paragraf ini jika dibaca secara seksama akan terasa janggal jika setelah kata ‘KPK’ tidak disisipi kata ‘hanya’. Penulis menduga hal ini terjadi karena adanya kekhilafan dalam pengetikan.
[iv] Pengecualian atas kejahatan yang bersifat extra ordinary dapat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam UU tersebut diperbolehkan pemeriksaan dan penhukuman atas kejahatan HAM Berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26/2000 tersebut dengan menggunakan UU tersebut dengan ketentuan khusus, yaitu dengan menggunakan mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc yang pembentukannya harus disetujui terlebih dahulu oleh DPR.
[v] Purbacaraka, Purnadi, & Soerjono Soekanto, “Perundang-Undangan dan Yurisprudensi”, Bahan PTHI, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1993) Hal. 7.
[vi] Ibid. hal. 8